blog ini menyajikan berbagai artikel agama buddha yang ditulis oleh pemilik blog atau hasil copy dari berbagai sumber yang bisa dijadikan materi pembelajaran di sekolah. Blog ini juga menampilkan tugas-tugas yang harus di kerjakan oleh siswa/mahasiswa yang diajar oleh p nurwito.Selamat membaca....

Selasa, 22 Januari 2008

KARMA, KELAHIRAN KEMBALI,DAN ILMU GENETIKA


Tugas untuk siswa Kelas XI SMA

Bacalah artikel berikut ini, kemudian tuliskan kesimpulan hubungan karma, kelahiran kembali dan ilmu genetika. Tugas dikumpulkan keketua kelas.
Oleh :Buddhadasa. P. Kirthisinghe


Kebahagiaan dan penderitaan, yang umum dialami sebagai nasib dari semua makhluk hidup, terutama bagi manusia, itu menurut pandangan Agama Buddha, tidak dianggap sebagai hadiah atau hukuman, yang diberikan oleh seorang Deva kepada roh yang telah melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Umat Buddha mempercayai hukum alam, yang dinamai hukum 'sebab dan akibat', yang umum berlaku pada semua gejala-gejala alam. Umat Buddha tidak percaya kepada seorang Deva yang dianggap maha kuasa, dan oleh karena itu hukum 'sebab dan akibat', yang merupakan hukum alam itu, berlakunya tidak dapat dihambat oleh Deva, bahwa juga tidak dapat dihambat oleh semua Buddha, walaupun semua Buddha itu telah memiliki cinta-kasih yang universal.
Hukum 'sebab dan akibat' itu dalam bahasa Sanskrit, dinamai 'karma' dan didalam bahasa Pali, dinamai 'kamma', yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan didalam Agama Buddha. Didalam kata-katanya Sang Buddha, kita temui ajaran yang bunyinya sebagai berikut: " 'Karma' kita sendirilah, atau perbuatan kita sendirilah, yang baik, dan yang buruk, yang menghadiahi dan menghukum kita". Apakah 'karma' itu?. 'Karma' adalah suatu kekuatan, yang kebajikannya, menimbulkan reaksi yang mengikuti sesuatu aksi; 'karma' adalah energi yang membuat jalan keluar; atau yang menyebabkan kita sekarang ini, hidup di alam ini; dan kehidupan kita yang baru ini adalah merupakan suatu aliran kehidupan yang tak habis-habis energinya, yang mengalir secara berlanjut, tanpa henti-hentinya.
Oleh karena itu, Yang Mulia Piyadassi Thera berkata : "Selama ada kemauan selama itu ada perbuatan. Selama ada perbuatan, selama itu ada suatu realitas kejam, yang timbul sebagai akibat dari suatu 'karma' yang buruk; dan selama ada perbuatan, hadiah serta hukuman, itu bukan merupakan kata-kata yang kosong. Keinginan itu menimbulkan perbuatan; perbuatan menimbulkan hasil; hasil itu mempertunjukkan dirinya sebagai suatu corporealitas baru, yang diisi dengan keinginan yang baru. Energi yang bersifat kenyal (= elastis) itu selalu mengubahnya menjadi kehidupan yang segar, dan kita hidup secara abadi melalui keinginan kita yang kuat untuk hidup. Adapun yang menjadi medium-nya, sarana-nya, yang membuat semua kemungkinan itu ada, adalah 'karma'.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Paul Bahlke, dari Jerman, yang dikemukakan didalam naskahnya yang berjudul 'Essay-Essay Buddhis', kita juga berpendapat bahwa, adalah pengetahuan tentang hukum sebab dan akibat, aksi dan reaksi, yang mendorong seseorang untuk mencegah dirinya untuk tidak berbuat jahat dan untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan yang baik. Seseorang yang mempercayai hukum sebab dan akibat, mengetahui dengan sangat baik, bahwa hanya perbuatan dirinya sendirilah, yang membuat kehidupannya berisi penderitaan, dan sebaliknya, hanya perbuatan dirinya sendiri pula, yang membuat kehidupannya berisi kebahagiaan.
Keadaan seseorang, hari ini, adalah merupakan hasil dari jutaan pengulangan-pengulangan dari fikiran-fikiran dan perbuatan-perbuatannya. Dia bukan makhluk yang sekali tercipta telah berkeadaan seperti sekarang ini; dia berkeadaan selalu menjadi keadaan yang baru, dan senantiasa tetap mengalami perubahan-perubahan, menjadi sesuatu yang baru, berikutnya lagi. Watak-wataknya ditentukan sebelumnya, oleh pemilihan-pemilihannya sendiri. Jenis fikirannya, dan jenis perbuatannya, yang dia pilih, menjadi kebiasaan-kebiasaannya, dan selanjutnya ini menentukan dia untuk menjadi manusia dengan watak-watak yang tertentu.
"Karma itu secara mutlak bersifat tidak mengenal belas kasihan, dan cara bekerjanya tidak pandang bulu. Sama keadaannya seperti sebuah cermin yang telah dibersihkan dengan sangat baik, itu mampu memantulkan pada permukaannya, gambar yang sebaliknya, hingga ke hal yang sekecil-kecilnya, demikian juga "karma" itu dapat memberikan kepada orang yang melakukan perbuatan, akibat yang membalik, yang tepat sama dengan jenis perbuatan yang telah dilakukannya."
Yang tersebut dimuka tadi, sama seperti sabda Sang Buddha, sebagai berikut : "Tidak ada tempat untuk persembunyian di langit, atau di kedalaman dari samudera, pun juga tidak dapat dengan cara masuk ke dalam gua di sebuah gunung, atau juga di mana pun di Bumi ini, jika anda ingin menghindar dari terkena akibat dari buah perbuatan anda."
Cara untuk bebas dari 'karma' tidak dapat diajarkan, itu hanya dapat dihayati; tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan menghayati kebajikan-kebajikan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan didalam kehidupan. Setiap individu haruslah merasa perlu untuk dapat bebas dari ikatan karma. Didalam tangan kita sendirilah letak dari kekuatan pembentuk nasib kita sendiri. Orang-orang lain dapat menolong kita secara tidak langsung, tetapi kebebasan dari penderitaan, itu haruslah kita sendiri yang melakukannya, dan kita sendirilah yang haruslah menempa, dengan landasan diri kita sendiri pula.
Psychologi (= ilmu-jiwa)-nya Buddhis, mengungkapkan bahwa pada diri manusia itu terdapat kemungkinan-kemungkinan yang masih bersifat terpendam, dan potensi-potensi untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan itu harus diperkembangkan dan direalisir, dengan usaha-usaha yang nyata. Manusia adalah merupakan kumpulan dari perbuatan-perbuatan yang baik dan yang jahat. Dia selalu mengalami perubahan, ke arah menjadi baik, atau menjadi jahat. Perubahan ini tidak dapat dihindari, dan tergantung sama sekali kepada perbuatan-perbuatannya sendiri, dan tidak tergantung kepada sesuatu yang lain. Dengan perbuatan-perbuatan kita, kita membentuk watak-watak kita, kepribadian kita, individual kita. Harus hanya melalui perbuatan-perbuatan kita sendiri saja, kita dalam berusaha untuk mengubah kembali diri kita, dan untuk memenangkan atau membebaskan diri kita, dari penderitaan-penderitaan.
Adalah keharusan kita sendiri untuk dapat hidup, adalah keinginan kita sendiri untuk dapat hidup, adalah ketergantungan kita kepada hiduplah, yang membuat permainan aksi dan reaksi, yang tak ada henti-hentinya ini, bergerak terus dengan tidak putus-putusnya. Selama kita gagal untuk melihat sifat yang sebenarnya dari hukum sebab dan akibat, sifat yang sebenarnya dari persebaban moral, selama itu pula masih terdapat keinginan dan ketidak-tahuan didalam diri kita, dan dengan demikian kita akan masih berkeadaan terikat kepada "Roda Kelahiran dan Kematian Secara Berulang-Ulang" itu. Apabila unsur penyebab dari sesuatu, telah dapat kita hancurkan maka secara automatis kemunculan unsur akibatnya, akan berhenti. Penderitaan akan menjadi lenyap, apabila akar-akar yang kecil-kecil dan bermacam-macam, dari penderitaan, telah dapat dilenyapkan. Seseorang, misalnya, yang membakar biji buah mangga, hingga menjadi abu, mengakibatkan berhentinya kekuatan pertumbuhan, dan biji buah mangga itu tidak akan pernah dapat menjadi sebuah pohon buah mangga. Itu sama keadaannya dengan yang terjadi pada sesuatu yang terkena persyaratan-persyaratan (= terkena kondisi-kondisi) dan yang terdiri dari komponen-komponen, apakah itu benda mati, atau makhluk hidup.
Sama seperti bahwa bayangan itu mengikuti bendanya, dan sama seperti bahwa asap itu muncul setelah ada api, demikian jugalah unsur akibat itu baru muncul, setelah ada unsur penyebabnya, dan penderitaan atau kebahagiaan itu muncul, setelah pada diri orang, ada fikiran dan perbuatan, yang bersifat buruk, atau baik. Tidak ada akibat-akibat disekeliling kita, di dunia ini, kecuali ada unsur-unsur penyebabnya, yang mungkin tidak tampak, atau belum terbabar, yang lalu mangejawantah (= manifest); dan bagaimana pun jenis penyebabnya, itu menghasilkan akibat-akibat, yang perbandingannya tepat sama dengan jenis-jenis penyebabnya. Orang-orang menuai hasil panenannya, yang berupa penderitaan, karena di masa yang lampau, yang waktunya dekat, atau jauh (di masa kelahirannya yang lampau), atau dalam kelahirannya yang sekarang ini, mereka pernah menanam benih kejahatan; dan orang-orang menuai hasil panenannya, yang berupa kebahagiaan, karena hal itu merupakan hasil perbuatan mereka di masa yang telah lalu, dalam menanam benih kebaikan-kebaikan.
"Seseorang yang bekerja sangat keras, mengerjakan tugasnya sebagai pelayan, mungkin saja, pada suatu ketika, didalam, kelahirannya yang akan datang, menjadi Pangeran yang baru.
Seorang Raja yang memerintah sebuah Kerajaan, mungkin saja, lalu dalam kehidupannya di dunia, pada kelahirannya yang akan datang, menjadi pengembara yang miskin, dengan pakaian compang-camping, karena dalam kehidupannya yang sekarang ini, Sang Raja telah berbuat sesuatu yang sangat buruk, dan telah melalaikan kewajibannya dalam berbuat kebaikan."
Biarlah seseorang mau bermeditasi terhadap ajaran tentang hukum sebab dan akibat ini, biarlah dia berusaha untuk memahaminya, dan semoga dia rajin menanam benih-benih kebaikan, dan rajin pula melenyapkan bintik-bintik kotor dari sifat-sifat jahatnya, yang terdapat didalam hatinya, yang merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan jahatnya di masa kelahirannya yang lampau, bagaikan petani yang rajin melenyapkan rumput-rumput pengganggu tanaman di kebunnya.
KELAHIRAN KEMBALI
Kelahiran kembali, atau keadaan tetap hidup terus sesudah orang meninggal dunia (dan lalu pada suatu ketika terlahirkan lagi di dunia), diterima sebagai fakta kehidupan, didalam Agama Buddha. Energi atau kekuatan yang terkumpul ini berlanjut terus untuk memanifestasikan diri pada kesadaran di berbagai lapisan alam lainnya. Menurut hukum konservasinya energi dan hukum bahwa zat itu tidak dapat dihancurkan, kita yakini bahwa didalam proses kelahiran kembali, itu tidak ada sesuatu yang hilang. Vitalitas atau kekuatan karma yang lenyap dari tubuh kita, itu lalu (didalam kelahiran kembali) memulai cyclus pengambilan tubuh, yang baru.
Kekuatan karma tersebut adalah aliran kehidupan (= santati = life flux) yang berlanjut terus dalam mencari jalan untuk memanifestasikan dirinya, dari satu alam kehidupan ke alam kehidupan berikutnya, dan energi karma ini didukung oleh kekuatan keinginan (untuk hidup). Ini adalah kekuatan karma yang sifatnya tidak nampak.
'Karma' adalah suatu bentuk energi, yang kita bawa dari kehidupan yang satu (kelahiran yang satu) ke kehidupan (kelahiran) yang berikutnya yang bersifat 'kusala' dan 'akusala', yaitu yang sifatnya baik dan buruk. Apabila kita telah meninggal dunia, materi karma kita, berubah didalam bentuk energi, sampai dicapainya rahim yang bersesuaian, dimana telur (= ovum) dan mani (= sperma) bergabung, untuk memvitalisasikannya. Sang Ayah dan Sang lbu hanya menyediakan materi untuk kehidupan makhluk yang baru. Faktor karma atau kekuatan individual (vinnana, atau kesadaran kelahiran kembali) adalah keadaan yang mengkondisikan, mempersyarati, suatu kehidupan yang baru. Ini tidak menyangkal keterangan dari ilmu pengetahuan (= science) tentang genetika, yang menerangkan bahwa anak itu mewarisi ciri-ciri dari orang tuanya dan sanak keluarganya yang dekat. Seorang anak itu juga dibentuk oleh lingkungan sekitar sosial, tetapi semuanya itu dikondisikan oleh "karma"-nya.
Didalam Agama Buddha, diterangkan bahwa terdapat lima dunia kehidupan, yang berkeadaan berbeda yang satu dengan yang lainnya, dan oleh karena itu, memungkinkan terdapatnya lima jalan untuk kelahiran kembali. Adapun ke-lima alam kehidupan itu adalah : alam kehidupan hewan, alam kehidupan roh (yang dinamai "spirit' atau "ghost"), alam neraka, alam kehidupan manusia, dan alam "sakkaloka" atau surga.
ILMU PENGETAHUAN GENETIKA
Ilmu Genetika adalah studi mengenai physiology tentang reproduksi (menurunkan jenis, mempunyai keturunan) dan ketrampilan mengembang-biakkan tanam-tanaman dan hewan-hewan.
Semua warisan (= heredity) itu ditransmisi-kan (= diliyerkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui cel-cel sex yang sangat kecil, yang dinamai sperm (= mani, pada pria) dan ova (= telur, pada wanita). Kedua cel itu bergabung didalam rahim, untuk membentuk telur yang dibuahi, yang tumbuh menjadi foetus (= janin bayi) dan akhirnya lahirlah seorang bayi.
Ayah dan ibu itu keduanya penting didalam transmisi, atau peliyeran, warisan. Inti-inti dari cel-cel sex itu berisi chromosome-chromosome, dan setiap sperma manusia itu berisi 24 chromosome, separo (= setengah) dari jumlah itu berisi cel-cel yang normal, dan jumlah ini bervariasi pada hewan-hewan lainnya dan pada tanam-tanaman.
Fertilisasi atau pembuahan itu terdiri dari bergabungnya inti sperma dengan inti ovum. Cel telur yang telah dibuahi ini lalu membagi dua, lalu menjadi empat, lalu menjadi delapan, dan akhirnya menjadi bilyunan cel-cel tubuh orang dewasa. Gregor Johann Mendel meng-identifikasi-kan unit-unit warisan sebagai gene-gene. Kita dapati unit-unit kehidupan didalam chromosome-chromosome dan didalam molekul yang wujudnya sangat kecil. Setiap ciri yang tampak pada tanaman-tanaman dan pada hewan-hewan itu mempunyai gene-gene, yang seperti telah dikatakan dimuka, itu dibawa chromosome-chromosome, yang terdapat didalam inti-inti dari semua cel kehidupan. Mendel telah menemukan hukum pewarisan, sebagai berbanding 3 dan 1, pada tanaman-tanaman dan pada hewan-hewan. Beliau juga telah menemukan gene-gene yang dinamai yang bersifat dominant dan yang bersifat recessive. Eksperimen klassik beliau telah menolong memperkuat theori-theorinya Charles Darwin, mengenai : asal dari jenis-jenis (= the origin of species), sekesi alamiah (= the natural selection). Dan tentang "Perjuangan untuk dapat tetap hidup dengan jalan mengadakan penyesuaian-diri, siapa yang kuat akan dapat tetap hidup terus" (= the survival of the fittest in the struggle for existence).
Sekarang telah diketahui bahwa gene-gene itu memisah diri menjadi separo (= setengah) dari jumlah mereka didalam cel-cel sex (sperma dan ovum), dan dinamai haploid-haploid dan menggabung kembali didalam telur yang sudah dibuahi, untuk membentuk suatu complement yang lengkap dari gene-gene, seperti cel-cel orang tuanya (= induknya).
Oleh karena itu anak-anak didalam sesuatu keluarga menjadi tampak serupa. Tetapi dari sudut moral, intelleklual, dan emosional, kemiripan mereka itu dapat sangat dekat, atau sangat jauh. Inilah yang dimaksudkan dengan 'karma' yang dikondisikan, yang dipersyarati. Orang tua yang tinggi intelleknya, dapat menurunkan anak-anak yang bodoh, atau sebaliknya, tergantung dari, 'karma' orang tuanya, dan 'karma' anak-anaknya.
Terdapat studi yang sangat menarik terhadap anak-anak kembar, yaitu studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, dengan studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi, yang menghasilkan dua anak kembar. Adalah bersifat alamiah bagi anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, yang hasilnya menunjukkan kesamaan warisan (= hereditary) yang berkeadaan berbeda, sebagai saudara-saudara perempuan dan saudara-saudara laki-laki yang biasa. Tetapi itu tidak benar bagi anak kembar dua yang identik, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi dan lalu menjadi dua anak kembar.
Telah diselidiki oleh team sarjana besar - yaitu : Newman, Freeman, dan Holzinger dari Universitas Chicago yang termasyhur itu -, bahwa setelah anak kembar dua dari satu telur itu tumbuh menjadi besar, mulai tampak terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka itu. Yang satu mungkin berat tubuhnya sedikit lebih dari yang satunya; yang satu mungkin lebih cepat pandai didalam belajar, dari pada yang satunya; yang satu bersifat mudah marah atau mudah tersinggung dari pada yang satunya. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa ada perbedaan, memisahkan diri, tidak lagi tetap berkeadaan sama, sebagai yang sama-sama berasal dari genetica dari anak kembar yang identik, itu adalah karena itu dikondisikan, dipersyarati, oleh 'karma', - hal ini merupakan suatu faktor yang tak dapat dihindarkan.
REFERENSI.
- Baptist, Egerton C.
The Supreme Science of the Buddha, Ceylon, 1954
- Carter, C.O
Human Heredity, Pelican, 1969.
- Dahlke, Paul
Buddhist Essays, Ceylon, 1961.
- Dunn & Dolzhansky
Heredity, Race and Society, Mentor Book, 1960

HUBUNGAN ANTARA AGAMA BUDDHA DANILMU PENGETAHUAN MODERN

0leh :Robert F. Spencer
Tidak akan ada yang mempermasalahkannya, kiranya, kecuali oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu merupakan suatu sistem, yang mempunyai pandangan yang objektif dan mandiri, mengenai sifat dan tujuan kehidupan manusia. Sifat objektivitasnya yang menonjol dari Agama Buddha, itu menyebabkan sistem Agama Buddha itu memisah dari Alam Agama, dan sekaligus mengakibatkan Agama Buddha lalu menggabung dengan jenis penyelidikan ilmiah yang berusaha untuk mencari Kenyataan (=Truth), yang mencirikan India pada zaman Gupta, dan periode-periode awal lainnya dari peradaban India, yang memungkinkan sekarang ini, sebagian besar para cendekiawan dari dunia intellektual, -baik di Dunia Timur, maupun di Dunia Barat-, terdorong untuk sibuk memperkembangkan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai Kenyataan-Kenyataan tersebut. Penulis dapat memahami pendapat seseorang (walaupun pendapat itu tidak benar), yang mengatakan bahwa Agama Buddha itu memiliki sifat-sifat tersendiri, yang agak berbeda sifatnya dengan sifat-sifat yang terdapat pada Agama-Agama lain; Agama Buddha itu merupakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menghayati dan mencapai tujuan didalam hidup dan kehidupan di dunia, yang dilingkungi oleh kesukaran-kesukaran dan yang penuh berisi penderitaan-penderitaan itu. Saya juga dapat memahami pendapat seseorang (walaupun, sekali lagi, pendapatnya itu tidak benar), yang mengatakan bahwa Agama Buddha itu sepintas nampak seperti bukan Agama-Agama lainnya; saya katakan bahwa saya dapat memahami pendapat yang demikian itu, karena pendapat tersebut merupakan kesimpulan dari penilaian yang mendefinisikan Agama sebagai suatu pengalaman mystic, dan para penganut Aliran dari Agama Buddha tertentu, ada yang cenderung kurang tertarik perhatiannya kepada hal-hal yang bersifat mystic, yang katanya dapat menimbulkan gejolak perasaan tertentu, yang dinilai kurang positif. Alasan yang mengeritik Agama Buddha sifatnya agak berbeda dengan Agama-Agama lain, ialah karena Agama Buddha itu kurang begitu menggaris-bawahi kepercayaan mengenai sesuatu, apabila yang dipercayai itu, merupakan sesuatu yang benar-benar sukar diketahui, atau bahkan bersifat tidak dapat diketahui oleh akal manusia, serta menolak dogmatisme. Yang saya sebutkan terakhir tadi, memang merupakan sesuatu yang mendorong lajunya perkembangan umat Buddha sendiri di Negara-Negara Buddhis, namun kiranya tidak ada penyelidik Agama Buddha yang menganggapnya sebagai pertumbuhan yang berlebihan, yang sia-sia, dan menyimpang dari konsepsi Dharma, yang bersifat ilmiah, dari Pendirinya. Artikel ini memegang teguh pendapat bahwa Agama Buddha sebagai suatu sistem, itu dapat dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan, karena memiki kesamaan-kesamaan yang besar.
Tetapi, juga terdapat perbedaan-perbedaan antara sistem Agama Buddha dan sistem Ilmu Pengetahuan : Sang Pemikir Buddhis itu memiliki kejernihan cara berfikir, sejernih tujuan-tujuannya: apabila Sang Pemikir Buddhis itu mempergunakan ilmu pengetahuan dan methode-methodenya, dia dalam mempergunakan sistem ilmu pengetahuan itu sadar bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. Dengan kata lain, umat Buddha melihat didalam ilmu pengetahuan itu, refleksi, atau pencerminan, mengenai prinsip-prinsip yang pernah diungkapkan oleh Sang Buddha, dan bahwa prinsip-prinsip yang terdapat didalam ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan ungkapan ulang saja, dari ungkapan-ungkapan yang pernah dikemukakan oleh Sang Buddha, yang pada zamannya Sang Buddha, hal-hal seperti yang terdapat didalam methodologi ilmiah, itu tidak pernah dianggap mutlak, seperti anggapan banyak ilmuwan sekarang. Sejak zaman sekarang ini, dunia tidak terpisah dari methode-methode ilmu pengetahuan; dalam hal ini, kita hanya akan mengemukakan catatan kita, yaitu betapa sangat bersesuaiannya ilmu pengetahuan itu dengan sistem Agama Buddha, yang telah didirikan oleh Sang Buddha, dua ribu lima ratus tahun yang lampau, di India. Pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan modern hanyalah merupakan pemberi tambahan perspektif terhadap konsep-konsep yang telah ada di zamannya Sang Buddha, yaitu misalnya konsep tidak tetapnya dari segala sesuatu, mengenai kwalitas yang bersifat illusi atau khayalan, dan mengenai konsep anatman, dan sebagainya, yang telah dikemukakan lama sebelum abad yang sekarang ini. Sebagai tujuan itu sendiri, memang ilmu pengetahuan itu berkemungkinan mampu memecahkan problema-problema yang nyata-nyata dihadapi, misalnya mampu memberikan makan bagi semua penduduk bumi yang makin lama makin bertambah banyak, mampu membuat makin panjangnya umur manusia, tetapi juga makin mampu memberikan sarana-sarana yang effektif untuk menghancurkan kehidupan. Jika kita tinjau, sekarang ini, ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih dari suatu methode yang membuat orang-orang mengkultuskannya, yang menjadi sumber jawaban untuk mengatasi problema-problema; sedang pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya hakiki, misalnya mengenai tujuan manusia, mendapat tempat yang bukan yang paling utama. Nampak terdapat kecenderungan di kalangan para ilmuwan, yang menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai dogma, dengan maksud untuk menyisihkan perasaan-perasaan atau sikap-sikap keagamaan, agar tidak mencampuri kegiatan-kegiatan penyelidikan ilmiahnya. Yang demikian itu terjadi pada beberapa bentuk sekte Hinduisme kuno; mereka mencoba mencari keterangan mengenai Alam Semesta, dengan mempergunakan theori atom, sebagai sarananya, betapa pun cukup tepat konsepsi-konsepsinya; juga dapat kita temui keterangan bahwa para Brahmana di India, di masa-masa yang lampau, itu telah mencoba menghentikan, atau melenyapkan kematian, untuk mencapai keselamatan manusia, yang mungkin dapat kita katakan : mereka itu mencoba berkecimpung didalam aktivitas yang sifatnya ilmiah. Sekalipun demikian, pada masa yang sekarang ini pun, keadaannya tidak berbeda, didalam kenyataannya, tujuan-tujuan ilmiahnya dari para ilmuwan, di dunia sekarang ini, walaupun terwarnai pula oleh sifat spiritual, tetapi lebih banyak terwarnai sifat materialisticnya.
Methode ilmu pengetahuan itu, terutama berisi perumusan suatu hypothesa: pengetesan hypothesa tersebut, dan pernyataan, atau penyampaian hypothesa baru, atas dasar pengetahuan yang dicapai dengan eksperimen-eksperimen yang telah dilaksanakan. Sang Buddha telah mengadakan eksperimen-eksperimen dengan idea-idea, tidak dengan benda-benda, -beliau telah mempergunakan kehidupan manusia yang penuh tempaan-tempaan kehidupan ini, untuk mengukur pengalaman-pengalaman manusia, untuk ditarik kesimpulannya, sebagai jawaban yang dapat memecahkan persoalan, atau melenyapkan penderitaan-penderitaan manusia, setelah masalah-masalahnya dikaji dengan penganalisaan yang paralel dengan cara kerja para ilmuwan.
Ilmu pengetahuan itu dicirikan oleh sifatnya yang "teguh pendirian", apabila sesuatu itu telah dikaji secara ilmiah dan tuntas, serta telah dinyatakan bahwa itu benar, sukar menarik kembali pernyataannya. Penyelidikan terhadap kenyataan (= atau Kasunyataan = Truth) itu tidak selalu mudah dilaksanakan, juga tidak selalu bersifat menyenangkan. Dikatakan juga bahwa Kenyataan itu dapat bersifat menyakitkan hati. Walaupun demikian, tetapi tetap bersifat benar, tetap merupakan kenyataan di mata siapa pun. Dapatkah kami tambahkan bahwa Buddhisme yang aseli, itu menawarkan suatu usaha, sesuatu usaha yang membuahkan hasil yang baik, yaitu agar setelah menemukannya, mau mempertahankannya dan melihatnya secara objektif. Bagi kita semua, yang hidup di dunia ini, yang semuanya memang mencari kesempatan untuk menghayati saat-saat dapat bebas, walaupun sementara saja, dari terkena hukuman, untuk bebas dari terkena kecemasan-kecemasan; pendek kata, untuk mencapai apa yang kita namai kebahagiaan, yang oleh Sang Buddha mengenai masalah kebahagiaan itu, bersabda sebagai berikut : "Baiklah, anda ingin mencapai kebahagiaan, tetapi ingatlah bahwa penghayatan kebahagiaan itu tidak berlangsung secara abadi; hari ini anda dapat merasa berbahagia, tetapi itu sifatnya tidak tetap!". Sama seperti bahwa ilmu pengetahuan itu berusaha untuk mendefinisikan jawabannya secara objektif, tanpa terwarnai oleh emosi, demikian juga Agama Buddha itu membidik sasarannya dengan setepat-tepatnya, bebas dari stress emosional, - tekanan perasaan -, dan memberikan informasi kepada kita secara ringkas sifat yang sebenarnya dari sesuatu itu. Dapat saja kita tidak bersikap yang demikian itu, dan mungkin kita bersikap "teguh pendirian" dan akan melaksanakannya tidak hanya dalam kata-kata saja; tetapi sampai sejauh mana kata-katanya itu, menjadi perbuatan yang nyata, masih harus dibuktikan.
Suatu contoh mengenai ciri "keras-kepala-nya" ilmu pengetahuan, yang juga segaris dengan yang diperkembangkan oleh umat Buddha, nampak didalam konsep karma. Bukankah hukum karma itu merupakan konsep dari Agama Buddha, yang sifatnva sederhana, namun lebih bersifat ilmiah!?!. Apabila orang memilih istilah lain, yang lebih nampak sebagai suatu kepercayaan, adalah prinsip samsara. Apabila kita tinjau secara objektif mengenai kehidupan-kehidupan di masa-masa kelahiran sebelum yang sekarang ini, baik kita tinjau sebagai berada didalam bidang waktu dan ruang, masalah samsara (atau reinkarnasi, atau tumimbal lahir), itu masih merupakan hal yang memerlukan keterangan-keterangan sejelas-jelasnya (walaupun itu adalah merupakan suatu kenyataan, dan tidak perlu diragukan akan kebenarannya!). Yang merupakan pembicaraan yang penuh arti, adalah bahwa "Diri saya" yang sekarang ini, tidaklah sama dengan "Diri saya" kemarin, tidak sama dengan keadaan satu tahun yang lampau, atau bahkan tidak sama dengan beberapa saat yang lalu. Walaupun tidak nampak dengan mata, namun "Ego" kita (= "Diri" kita), itu telah mengalami perubahan, wujud badan jasmani kita, itu dari satu saat ke saat berikutnya, keadaannya tidak sama. Pula, bahwa "Penghayatan Ke-Aku-an" dari individu, yang memiliki kemauan dan kebebasan ber-kehendak, itu dapat berbuat sesuatu, dan memang selalu berbuat sesuatu. Sesuatu perbuatan itu di-pra-kondisi-kan oleh perbuatan- perbuatan yang mendahuluinya. Perbuatan yang dilakukan sekarang ini, mempunyai effek-effek, atau akibat-akibat, untuk besok paginya, memiliki akibat-akibat di masa yang akan datang, di bidang perbuatan dan fikiran. Penulis artikel ini, berpendapat bahwa itulah yang dinamai prinsip-prinsip karma dengan applikasinya. Itu sifat ilmiah, disitu tidak ada sesuatu yang kita namai esoteric, - keajaiban-keajaiban yang bersifat batiniah.
Sudah sangat banyak dikemukakan orang mengenai hubungan antara Agama Buddha dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, namun kiranya disini perlu juga saya sajikan uraiannya, asal tidak sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya. Sifat dari zat, sifat dari realitas physik, problema-problema mengenai ruang dan waktu, semuanya telah terdapat secara implicit didalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Penulis artikel ini harus mengakui bahwa Sang Buddha itu tidak acuh tak acuh terhadap hubungan-hubungan yang bersifat mystic yang demikian itu, sama seperti bahwa beliau juga tidak acuh tak acuh terhadap hubungan antara jiwa (= mind) dan zat (= matter). Perhatian Sang Buddha terutama terletak didalam hubungan antara Agama Buddha dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang merupakan bidang yang sangat luas, untuk memahami hubungan antara manusia dengan manusia, dan tidak antara atom dengan alam semesta yang tidak dihuni oleh makhluk.
Didalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, sebagai misalnya anthropology dan sociology, usaha yang dilakukan orang, adalah memahami bagaimana orang-orang itu bertingkah-laku didalam kelompok, dan mengapa mereka itu bertingkah-laku yang demikian itu. Suatu aspek hubungan (yang sama), kita lihat juga pada ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Masih dapat kita teruskan uraiannya, dengan menambahkan lagi dengan suatu disiplin ilmu pengetahuan, yang meng-evaluasi individu, yaitu psychology, atau ilmu jiwa. Didalam semua lapangan yang disebutkan dimuka tadi, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa terdapat sesuatu yang maha penting, ialah : bahwa manusia itu bertingkah-laku, karena telah mengalami keadaan dipersyarati, - yang oleh ahli anthropology dikatakan karena terkena pengaruh warisan-warisan kebudayaan. Kita dapat memahami pendapat orang-orang, yaitu bahwa kita dapat menganggapnya sesuatu tingkah-laku itu benar dan baik, sedang orang-orang lain (yang lain kebudayaannya dengan kebudayaan kita) mungkin menganggap itu sama sekali salah dan tidak baik. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial itu mengajar kepada kita mengenai sifat relativisme-nya dari tingkah-laku manusia.
Seandainya kita dapat menerima pendapat bahwa tingkah-laku manusia itu bersifat relative, maka sebagai akibat selanjutnya, adalah bahwa tidak ada konsep-konsep mengenai kebaikan atau kejahatan, yang mutlak. Memanglah, bahwa kebaikan dan kejahatan, itu sifatnya sangat relative. Sebagai seorang yang telah terlatih di bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang telah memperoleh informasi-informasi mengenai cara kehidupan bangsa-bangsa di Dunia, yang berbeda-beda itu, penulis artikel ini dapat menerima pendapat yang demikian itu (bahwa tingkah-laku manusia itu bersifat relative). Namun, hanya didalam ajaran Agama Buddha sajalah, yang beberapa dari konsep-konsep yang kacau, itu telah disusun kembali menjadi berkeadaan teratur. Coba, silahkanlah memperhatikan kenyataan bahwa Sang Buddha itu tidak pernah bersabda : "Janganlah anda.....". Sang Buddha mengatakan bahwa adalah merupakan suatu idea yang bagus untuk menghindari jenis-jenis tingkah-laku tertentu, dan beliau juga memberikan sejumlah ajaran-ajaran, yang seluruhnya bersifat positif, terhadap para pengikut beliau. Agama Buddha itu ajaran-ajarannya dapat diterapkan bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang, kepercayaan, sistem ekonomi atau sistem politik, yang dianut seseorang. Yang diajarkan Sang Buddha tidaklah lain adalah kegiatan untuk mengembalikan lagi keseimbangan pada diri orang-orang. Bahkan lebih dari itu, Sang Buddha selalu mengharapkan agar pada diri orang-orang senantiasa berkeadaan seimbang kepribadiannya, sesuai dengan sudut pandangan Agama Buddha. Untuk menyadari konsep, atau ajaran anicca, jelas tidak perlu kita permasalahkan, itu adalah merupakan ajaran yang sangat berguna bagi semua orang.
Tetapi umat Buddha itu dapat menolong dirinya sendiri, dalam hal pencapaian tujuan-tujuannya, dengan menyadari dan mengikuti objektivitasnya para sarjana ilmu pengetahuan sosial. Dalam hal ini, yang saya maksudkan adalah bahwa para sarjana ilmu pengetahuan sosial itu dapat menarik-diri, tidak mau tenggelam dalam masalah-masalah yang dihadapi sesama manusia yang sedang mengalami permasalahan itu. Namun kadang-kadang para sarjana ilmu pengetahuan sosial itu ada yang tidak berusaha untuk membuat agar kehidupan sesama manusia berkeadaan lebih baik. Namun lain yang dilakukan oleh Sang Buddha. Umat Buddha, itu walaupun melakukan yang sama dengan yang dilakukan oleh para sarjana ilmu pengetahuan sosial, yaitu tidak mau tenggelam pada permasalahan yang dialami manusia yang sedang menghadapi sesuatu masalah, tetapi sambil bersikap tidak mau tenggelam pada permasalahannya, Sang Buddha berusaha mencapai pemecahan, secara tidak langsung, didalam mengatasi problem-problema penderitaan yang dialami oleh manusia. Sang Buddha berpendapat dan menyadari kenyataan bahwa orang yang dapat menolong dirinya sendiri, itu berarti tidak boleh tidak, dia dapat menolong orang lain juga. Sang Buddha itu menaruh perhatian sepenuhnya terhadap problema-problema kemasyarakatan dan kepribadian. Ahli Ilmu Pengetahuan Jiwa Psychoanalisa itu dapatlah didalam beberapa hal diperbandingkan dengan orang yang telah dapat mencapai Penerangan Sempurna (= Kesadaran Nirvana), tetapi orang yang telah memperoleh Penerangan Sempurna (= Enlightenment) itu tidaklah perlu harus diajar bagaimana cara bergaul dengan sesama manusia. Sifat dari Kesadaran Nirvana itu, tidak dapat tidak, juga mendatangkan sikap yang dimiliki oleh ilmuwan. Umat Buddha dapat menerima ketidak-terikatan yang sifatnya kontemplatif dari para ilmuwan. Didalam mengerjakan hal yang demikian itu, dia dapat menjadikan dirinya menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan dapat mengikuti atau mempraktekkan lebih dekat dan lebih luas lagi, mengenai ajaran-ajaran pokok dari Agama Buddha. Objektivitas, atau sikap menghadapi masalah-masalah secara objektif, didalam menangani masalah-masalah manusia, tetap merupakan sikap mental yang penting hingga dewasa ini

Sabtu, 19 Januari 2008

Masa Meninggalkan Istana


Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk me-laksanakan cita-citanya.
Selanjutnya Raja Suddhodana menyiapkan sebuah pesta yang besar dan meriah untuk pangeran dalam rangka untuk merayakan kelahiran cucunya. Ia mengundang penari dan penyanyi yang terbaik dari seluruh kerajaannya untuk pesta itu. Raja mengerjakan semua ini karena tahu bahwa Pangeran tidak bergembira meskipun baru saja mempunyai anak dan rajapun tahu bahwa pangeran akan meninggalkan istana untuk mencari sesuatu yang baik.
Selama pesta makanan-makanan yang paling lezat disediakan. Gadis-gadis menari di depan Pangeran, semuanya cantik dan menarik. Pangeran mengunjungi pesta itu hanya untuk menggembirakan ayahnya. Pada kenyataanya ia merasa lelah dan selalu berpikir bagaimana ia dapat menghentikan usia tua, sakit, ketidakbahagiaan dan kematian. Pangeran begitu letih karena terus memikirkan sehingga segera tertidur.
Ketika para penyanyi dan penari melihat bahwa mereka menyanyi dan menari untuk Pangeran yang sudah tidur, mereka juga berhenti dan beristirahat sebentar menunggu sampai Pangeran bangun kembali. Seperti halnya Pangeran, mereka juga sangat lelah dan segera tertidur. Beberapa waktu kemudian setelah larut malam Pangeran bangun dan terkejut melihat orang-orang itu. Apa semua ini. Semua penari dan penyanyi yang paling cantik dan menarik di seluruh kerajaan yang beberapa jam yang lalu mencoba menggembirakan pangeran, sekarang di atas ruangan itu, di kursi-kursi, di permadani dan di tempat tidur dalam keadaan sangat jelek, menjijikkan dan memualkan. Beberapa gadis mendengkur seperti babi dengan mulutnya yang terbuka lebar-lebar, beberapa lagi berkertak gigi dan mengunyah seperti setan-setan kelaparan. Begitu jelek dan kotor mereka, membuat Pangeran lebih jijik lagi dan sedih. Pangeran berdiri perlahan-lahan dari ruang itu tanpa ingin membangunkan orang-orang dan memanggil pelanyannya yang setia Channa untuk memasang pelana pada kuda putih kesayangannya Kanthaka untuk menempuh perjalanan yang jauh.
Sewaktu Channa menyiapkan kudanya, Pangeran dengan perlahan melihat anaknya yang baru lahir. Isterinya sedang tidur dengan bayi di sampingnya dan tangannya menutupi wajah bayi itu. Pangeran tidak dapat melihat wajah anaknya dan ia tahu jika ia menggeser tangan isterinya untuk melihat anaknya, mungkin dapat membangunkan isterinya dan ia pasti melarang untuk meninggalkan istana. Pangeran berkata dalam hati: “Jika aku mencoba melihat wajah anakku dengan menggeser tangannya, aku takut, aku akan membangunkannya. Tidak! Saya harus pergi tanpa melihat wajah anakku, tetapi jika aku telah menemukan apa yang akan kucari, aku akan kembali dan melihat ia dan ibunya lagi.”
Kemudian dengan perlahan Pangeran meninggalkan istana pada tengah malam naik kuda kesanyangnya dengan Channa, pembantunya yang setia sebagai saisnya/kusirnya. Waktu tiba di pintu gerbang tidak seorang pun yang mencegah dan Pangeran pergi meninggalkan dari semua yang mengenal, menghormati dan mencintainya. Pangeran yang saat itu berusia 29 tahun, memandang Kapilavatthu yang terakhir kalinya-yang sunyi sepi di bulan Asalha purnama sidhi. Pangeran pergi untuk menemukan jalan untuk mencegah datangnya usia tua, penyakit, dan kematian.

DELAPAN ANUGERAH

Pada saat anak Pangeran Sidharta lahir dan akan diadakan pesta untuk memeriahkan kelahiran Pangeran kecil, Beliau kelihatan murung dan tidak gembira. Hal ini terjadi karena Pangeran memiliki suatu keinginan yaitu ingin meninggalkan istana untuk mencari obat guna mengatasi makhluk agar terbebas dari kelahiran, usia tua, sakit dan mati. Maka untuk mewujudkan keinginan itu Pangeran meminta ijin kepada Ayahanda dengan hati-hati. Tetapi setelah mendengar permintaan anaknya, Raja Sudhodana marah karena Pangeranlah satu-satunya menjadi pewaris kerajaan.
Karena tidak diizinkan maka Pangeran meminta agar Raja memberikan 8 macam anugerah. Delapan anugerah itu adalah:

Anugerah supaya...
1. tidak menjadi tua
2. tidak sakit
3. tidak mati
4. ayah tetap bersamaku
5. semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup
6. kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7. mereka yang pernah hadir dalam pesta kelahir-anku dapat memadam-kan semua nafsu ke-inginannya
8. aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati



Mendengar anaknya memberi pernyataan demikian maka Raja Suddhodana merasa sangat kecewa dan beliau mengatakan bahwa hal-hal yang diminta Pangeran adalah hal yang di luar kemampuannya. Raja mencoba membujuk dan berkata bahwa beliau sudah lanjut usia agar Pangeran menunda kepergiannya sampai Raja mangkat
Akhirnya Pangeran berkata agar Raja merelakan kepergiannya saat beliau masih hidup. Setelah Pangeran berhasil menemukan obat maka akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan kepada ayahnya.

Selamat ya, Kamu telah selesai mempelajari kegiatan belajar 1 ini. Semoga Kamu dapat memahaminya dengan baik. Namun jangan lupa, untuk menguji kemampuan Kamu dalam memahami materi pada kegiatan belajar 1 ini, kerjakan dahulu tugas-tugas yang ada pada akhir kegiatan sebelum Kamu melanjutkan untuk mempelajari materi pada kegiatan belajar berikutnya. Usahakan tidak melihat kunci jawaban, sebelum Kamu mengerjakan tugas.