I. TUHAN YANG MAHAESA DAN KETUHANAN
Ø Konsep Ketuhanan Agama Buddha:
Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”
(Sutta Pitaka, Udana VIII:3)
Ø Jadi Tuhan dalam pandangan agama Buddha bersifat impersonal:
Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi),
· tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian ciri-ciri yang berasal dari wujud
manusia), dan
· antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia)
Ø Bagaimana jika tidak impersonal?
· Kalau tidak impersonal, berarti masih berkondisi, masih tetap dukkha
· Bisa timbul pandangan bahwa ‘Tuhan dapat disalahkan’, jadi kita tidak dapat
mendudukkan Tuhan pada proporsi yang sebenarnya
Ø Bolehkah konsep tesebut digunakan di Indonesia?
Boleh, karena tidak bertentangan dengan:
· Pancasila dasar Negara yaitu sila Ketuhanan Yang mahaesa
· UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.
Ø Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk
Ø Buddha mengutuk ketakbertuhanan. Hanya dalam satu hal agama Buddha dapat digambarkan sebagai atheis, dalam hal menolak adanya suatu Tuhan mahakuasa yang abadi atau Maha-dewa yang merupakan pencipta dan pengatur dunia dan secara ajaib bisa menyelamatkan orang.
Ø Jika Tuhan kita tidak/bukan maha pencipta, lalu siapa yang maha pencipta?
Yang maha pencipta adalah kondisi-kondisi
· Tidak ada causa prima (sebab pertama), yang ada yaitu sebab terdekat
· Untuk terbentuk/terjadinya sesuatu fenomena ternyata melibatkan banyak sekali kondisi
Ø Apakah yang tidak berkondisi benar-benar ada?
Kita dapat mengetahui hal tersebut dari:
· Kitab suci
· Logika (Anumana: melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat)
· Mengalami langsung (merealisasi)
Ø Sifat-sifat Tuhan:
· Mahaesa karena hanya satu-satunya
· Mahasuci karena terbebas dari lobha, dosa, dan moha
Ø Tahap-tahap munculnya konsep ketuhanan:
Ada hubungan antara pola hidup dan pola pikir ketuhanan
POLA HIDUP POLA PIKIR KETUHANAN
· Berburu binatang Menyembah benda2 yg menentramkan
. Memelihara binatang Menembah binatang
· Bercocok tanam Menyembah dewi/dewa
· Industri kecil Gaib
· Industri besar Diri sendiri adalah Tuhan
· Spiritual maju Anatta
Ø KONSEP KESELAMATAN
· Ortodoks
· Heterodoks
· Independent/tidak tergantung
Ø Konsep keselematan dalam agama Buddha adalah tergantung pada dirinya masing-masing karena pada hakikatnya dalam setiap manusia dpat mencapai kesempurnaan/kesucian
Ø Kesucian dalam agama Buddha:
· Sotapanna
· Sakadagami
· Anagami
· Arahat
Ø Jalan munuju kesucian:
· Dengaan melaksanakan Jalan Tengah (majjhima patipada) yaitu jalan yang menghindari
dua jalan ektrim, pertama menghindari ektrim duniawi atau pemuasan nafsu indera yang
berlebih-lebihan, dan kedua menghindari ekstrim penyiksaan diri yang menyakitkan
· Jalan Tengah disebut juga Jalan Mulia Berunsur Delapan, terdiri atas:
1. Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2. Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3. Ucapan Benar (Samma Vaca)
4. Perbuatan Benar (SammaKkemmanta)
5. Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6. Daya upaya Benar (Samma Vayama)
7. Perhatian Benar (Samma Sati)
8. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)
Ø Pandangan benar yaitu pandangan terhadap segala sesuatu peristiwa menurut hekikat
yang sebenarnya, yaitu penembusan terhadap Empat Kebenaran Mulia yaitu pandangan
tentang duka, asal-mula duka, lenyapnya duka, dan jalan untuk melenyapkan duka
Ø Pikiran benar yaitu pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian, kemauan buruk,
kekejaman dan sejenisnya
Ø Ucapan benar yaitu tidak berbohong, tidak bicara kasar, tidak memfitnah, dan tidak omong
kosong. Ada 4 syarat disebut sebagai ucapan benar yaitu ucapan itu benar, beralasan,
bermanfaat dan tepat pada waktunya
Ø Perbuatan benar yaitu tidak membunuh, mencuri, dan berbuat asusila
Ø Mata Pencaharian/penghidupan benar yaitu penghidupan yang menghindari diri dari
penghidupan yang merugikan makhluk lain, yaitu penipuan, ketidaksetiaan, penujuman,
kecurangan, praktek lintah darat. Terdapat pula perdagangan yang harus dihindari yaitu
berdagang alat senjata, makhluk hidup, minuman keras yang memabukkan atau
menimbulkan ketagihan, dan racun
Ø Daya upaya benar yaitu mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik dalam
batin; memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik yang telah timbul dalam batin;
membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat dalam batin; memelihara dan
mengembangkan unsur-unsur baik dan sehat dalam batin
Ø Perhatian benar yaitu perhatian cermat atau penuh dan waspada waspada terhadap
kegiatan-kegiatan jasmani (kaya), perasaan-perasaan (vedana), pikiran (citta), dan
bentuk-bentuk batin atau semua gejala batin (dhamma)
Ø Konsentrasi benar yaitu pemusatan pikiran baik terhadap objek meditasi sehingga batin
mencapai keadaan yang lebih tinggi dan dalam yang mampu membawa seseorang
mencapai kesucian pikiran (citta visudhi) maupun jhana-jhana
II. FILSAFAT KETUHANAN
Ø Istilah Filsafat:
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philein atau philos berarti “cinta”, dan sophia berarti kebijaksanaan, hikmat atau pengetahuan”
Ø Pengertian:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), filsafat memiliki pengertian:
(1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal, dan hukumnya;
(2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
(3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
(4) falsafah
Ø Hubungan Agama Buddha dan Filsafat:
Agama Buddha dan filsafat tak dapat dipisahkan. Tetapi agama Buddha jauh lebih luas dari filsafat
Ø Jenis Filsafat:
Filsafat Buddhis tergolong realisme, bukan idealisme atau materialisme
Ø Berkenaan dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa tidak dapat dijelaskan dengan bentuk dan perasaan makhluk (bebas dari konsep antropromorfisme dan antropopatisme), maka Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi yang mengatur secara langsung kehidupan di alam semesta ini
Ø Hukum Tertib Kosmis
Dalam agama Buddha alam semesta ini beserta isinya diatur oleh Hukum Universal/Hukum Tertib Kosmis yang disebut Dhamma Niyama:
· Utu Niyama
· Bija Niyama
· Kamma Niyama
· Citta Niyama
· Dhamma Niyama
Ø Dhamma Niyama merupakan hukum abadi yang meliputi alam semesta, yang bersifat kekal-abadi:
“O Para Bikkhu, apakah para Tatagatha (Buddha) muncul di duniaatau tidak, Dharma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi” (Dhamma Niyama Sutta).
Ø Dharma meliputi segala sesuatu yang bersyarat ataupun tidak bersyarat, yang muncul atau tidak muncul, serta yang nyata atau abstraks
Ø Dharma bukanlah ciptaan para Buddha, Buddha hanyalah ‘Penemu Dharma’
Ø Uraian Dhamma Niyama:
1. Utu Niyama
Hukum universal tentang energi yang mengatur:
. Terbentuk dan hancurnya bumi, planet, tata surya, temperatur, cuaca, halilintar, gempa
bumi, angin, ombak, gunung meletus;
. Membantu pertumbuhan (metabolisme) manusia, binatang dan pohon; atau
. Segala sesuatu yang berkaitan dengan energi (fisika dan kimia)
2. Bija Niyama
Hukum universal tentang tumbuh-tumbuhan, misalnya:
. Bagaimana biji, stek, batang, pucuk, daun dapat bertunas, bertumbuh, berkembang dan
berbuah, dan seterusnya.
3. Kamma Niyama
Hukum universal tentang moral atau hukum Karma, yaitu:
. Perbuatan baik menghasilkan akibat yang baik (kebahagiaan)
. Perbuatan buruk menghasilkan akibat yang buruk (penderitaan)
4. Citta Niyama
Hukum universal tentang pikiran atau batin, misalnya:
. Proses kesadaran
. Timbul dan lenyapnya kesadaran
. Kekuatan pikiran dari keberhasilan pelaksanaan Samatha Bhavana hingga mencapai jhana,
. Kesucian batin karena keberhasilan pelaksanaan Vipassana Bhavana
5. Dhamma Niyama
Hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak diatur oleh keempat Niyama tersebut di atas, misalnya:
. Terjadinya keajaiban alam pada waktu Bodhisattva lahir, mencapai penerangan sempurna,
dan lain-lain
. Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam lainnya yang sejenis
Ø Alam Semesta:
· Menurut pandangan agama Buddha, alam semesta ini luas sekali;
· Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung
Ø Kosmologi/Sistem Tata Surya:
Dalam Anguttara Nikaya, Ananda Vagga, bagian Abhihu diceritakan tentang:
· Tata Surya Kecil (Culanika Lokadhatu) = 1.000 tata surya
· Tata Surya Menengah (Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu) =1.000.000 tata surya
· Tata Sura Besar (Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu)= 1.000.000.000 tata surya
Ø Pembentukan dan kehancuran planet-planet:
· Dalam Anguttara Nikaya Sattakanipata Mahavaggo Dutiyo, bagian Suriya, diceritakan
tentang tujuh matahari yang menghancurkan bumi
· Setiap saat, di alam semesta ini terjadi pembentukan dan kehancuran planet-planet
· Jadi, kiamat (dalam arti hancurnya planet) memang diterima dalam agama Buddha
Ø Makhluk Pertama:
Manusia pertama di bumi ini
· Dalam Dighanikaya, Aganna Sutta diceritakan tentang manusia pertama di bumi ini
· Manusia pertama berasal dari alam Abhassara
· Mereka itu muncul dengan tubuh yang bercahaya yang sangat terang
· Mereka banyak sekali, bukan hanya satu atau dua orang saja
Ø Makhluk pertama di alam semesta:
Sangat sulit diceritakan, dalam Samyuttanikaya II, 178-193 dijelaskan:
“Tidak dapat dipikirkan akhir roda tumimbal lahir; tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk-makhluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan rendah (Tanha) mengembara ke sana ke mari”.
Ø Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada, tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita
Ø Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini manurut Anguttara Nikaya, Sutta Nipata, diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini mucullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh.. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita ini terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
III. MANUSIA
Ø Kehidupan manusia:
Kehidupan manusia sekarang di bumi ini merupakan kelanjutan kehidupan
Ø Hakikat manusia:
Apa yang disebut manusia adalah lima kelompok/agregat kehidupan (pancakkhanda), yang terdiri atas:
(1) unsur jasmani (rupakkhanda),
(2) perasaan (vedanakkhanda),
(3) pencerapan (sannakkhanda),
(4) bentuk-bentuk pikiran (sankharakkhanda), dan
(5) kesadaran (vinnanakkhanda)
Ø Kelompok jasmani:
Kelompok jasmani tebentuk karena empat unsur utama yaitu:
1. unsur padat/tanah (pathavi-dhatu), berfungsi sebagai penyokong dan memberi sifat keras-
lunak;
2. unsur cair/air (apo-dhatu), berfungsi sebagai pengikat dan memberi sifat kohesi arus;
3. unsur panas/api (tejodhatu), berfungsi sebagai pematurasi dan memberi sifat panas-
dingin;
4. unsur gerak/angina (vayo-dhatu), berfungsi dalam pergerakan dan memberi sifat
ekspansi-kontraksi.
Ø Kelompok perasaan:
Kelompok perasaan adalah kelompok yang meliputi semua perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral yang muncul karena:
1. kesan-kesan penglihatan oleh mata;
2. kesan-kesan pendengaran oleh telinga;
3. kesan-kesan penciuman oleh hidung;
4. kesan-kesan pengecapan oleh badan;
5. kesan-kesan batin.
Ø Kelompok pencerapan:
Kelompok pencerapan adalah kelompok yang meliputi semua pencerapan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral yang terdiri atas:
1. pencerapan bentuk-bentuk oleh mata;
2. pencerapan suara-suara oleh telinga;
3. pencerapan bau-bauan oleh hidng;
4. pencerapan rasa-rasa oleh lidah;
5. pencerapan sentuhan oleh badan;
6. pencerapan objek batin oleh pikiran.
Ø Kelompok pikiran:
Kelompok bentuk pikiran adalah kelompok yang meliputi semua keadaan batin yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral:
1. terhadap bentuk yang dilihat;
2. terhadap suara yang didengar;
3. terhadap bau-bauan yang dicium;
4. terhadap rasa-rasa yang dikecap;
5. terhadap sentuhan-sentuhan yang disentuh;
6. terhadap kesan-kesan objek batin oleh pikiran.
Ø Kelompok kesadaran:
Kelompok kesadaran adalah kelompok yang meliputi semua kesadaran yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral, terbagi dalam enam golongan yaitu:
1. kesadaran mata;
2. kesadaran telinga;
3. kesadaran hidung;
4. kesadaran lidah;
5. kesadaran jasmani;
6. kesadaran batin.
Ø Proses terjadinya kehidupan manusia:
Terjadinya kehidupan manusia yaitu:
· adanya pertemuan unsur laiki-laki dan perempuan,
· dalam kondisi masa subur, dan
· adanya gandhabba yang siap terlahir kembali
Ø Martabat manusia:
Martabat Manusia diuraikan Buddha dalam Sutta Nipata, Vasala Sutta, sebagai berikut:
“Bukan karena kelahiran seseorang disebut sampah masyarakat (vasala).
Bukan karena kelahiran seseorang disebut Brahmana.
Hanya karena perbuatan seseorang disebut vasala.
Hanya karena perbuatan seseorang disebut Brahmana.
V. HUKUM
Ø Pengertian:
Peraturan yang bertujuan untuk mencegah manusia melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai moral
Ø Jenis Hukum:
· hukum negara
· hukum adat,
· hukum kebiasaan dalam kehidupan pergaulan berbangsa dan bernegara, dll
· hukum alam yang bersifat universal
Ø Fungsi hukum:
Hukum melindungi orang-orang yang berkelakuan baik; mengendalikan dan memperbaiki mereka yang berkelakukan buruk, serta mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan secara efektif
Ø Hukum yang baik:
melindungi kebenaran dan keadilan, memiliki dasar moral yang dapat diterima secara universal dan mengandung unsur pendidikan
Ø Fungsi profetik agama dalam hukum:
adalah bahwa agama sebagai sarana menuju kebahagiaan juga memuat peraturan-peraturan yang mengondisikan terbentuknya batin manusia yang baik, yang berkualitas, yaitu manusia yang bermoral
Ø Hukum dalam agama Buddha:
Hukum yang diajarkan Buddha yaitu Hukum Kebenaran Mutlak:
yang mengatasi KETUPAT ( mengatasi keadaan, waktu, tempat, dan tempat)
Ø Macam Hukum Kebenaran yang diajarkan oleh Buddha:
þ Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani)
þ Hukum Perbuatan (Kamma) dan Kelahiran Kembali (Punarbhava)
þ Hukum Tiga Corak Universal (Tilakkhana)
þ Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada)
Ø Empat Kebenaran Mulia:
a. Kebenaran Mulia tentang Dukkha
b. Kebenaran Mulia tentang Sebab dukkha
c. Kebenaran Mulia tentang Terhentinya Dukkha
d. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Terhentinya Dukkha, yaitu:
1). Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2). Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3). Ucapan Benar (SammaVaca)
4). Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5). Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6). Usaha Benar (Samma Vayama)
7). Perhatian Benar (Samma Sati)
8). Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)
VI. HUKUM KARMA DAN PUNARBHAVA
Ø Pengertian:
Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) berarti perbuatan. Hukum Karma berarti hukum yang mengatur perbuatan
Ø Jenis Karma:
Karma baik (Kusala Kamma) dan Karma buruk (Akusala Kamma)
Ø Syarat Karma;
· Syarat karma adalah kehendak atau niat (cetana).
· Berkenaan dengan hal ini Buddha menyatakan di dalam Kitab suci Anguttara Nikaya
III.415 yaitu:
“ O... para Bhikkhu kehendak untuk berbuat (cetana) itulah yang Aku namakan kamma.
Setelah timbul kehendak seseorang berbuat dengan pikiran, ucapan, atau jasmani”
Ø Prinsip Hukum Karma:
Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan. Pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Taburkanlah biji–biji benih, dan engkau pulalah yang akan memetik buah–buah daripadanya. (Samyutta Nikaya I:227)
Ø Prinsip Pertama:
Sebab = AkibatSesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya
Ø Prinsip Kedua :
Pembuat kebajikan akan menerima kebajikan dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula.
Baik ==> Baik
Jahat ==> Jahat
Ø Prinsip Ketiga :
Taburkanlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah daripadanya.
Pembuat = Penerima
Ø Pembagian Karma
1. Menurut jangka waktu dalam memberikan hasil:
a. Karma yang berakibat pada kehidupan sekarang ini (ditthadhamma vedaniya kamma);
b. Karma yang berakibat pada kehidupan yang akan datang (upajjavedaniya kamma );
c. Karma yang berakibat pada kehidupan yang akan datang dan berikutnya (aparapara-
vedaniya kamma)
d. Karma yang tidak memberikan hasil/akibat (ahosi kamma)
2 Menurut sifat kerja / fungsi:
a. Karma penghasil/syarat terlahirnya makhluk-makhluk (janaka kamma)
b. Karma pendorong/pembantu (upattambaka kamma)
c. Karma penekan (upapilaka kamma)
d. Karma pemotong (upaghataka kamma)
3. Menurut sifat hasil / kekuatan yang dihasilkan
a. Karma yang berat akibatnya (garuka kamma )
b. Karma sesaat sebelum ajal/meninggal (Asanna Kamma)
c. Karma kebiasaan dan sebagai watak baru (acina kamma)
d. karma yang ringan yang tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari perbuatan lampau
(katatta kamma )
Ø Sumber atau akar kejahatan: Keserakahan (Lobha), Kebencian (Dosa), dan Kebodohan batin (Moha);
Ø Sumber atau akar kebajikan: tidak serakah/belas kasih (Alobha), tidak membenci/ cinta kasih (Adosa), dan Tidak bodoh/bijaksana (Amoha)
Ø Sepuluh Perbuatan jahat:
1. Membunuh
2. Mencuri
3. Berzina
4. Berdusta
5. Memfitnah
6. Berkata kasar
7. Omong kosong
8. Keserakahan
9. Kemauan jahat/Kebencian
10. Pandangan salah
Ø Sepuluh Perbuatan baik:
1. Menghindari membunuh
2. Menghindari mencuri
3. Menghindari berzina
4. Menghindari berdusta
5. Menghindari bicara fitnah
6. Menghindari berkata kasar
7. Menghindari omong kosong
8. Menghindari keserakahan
9. Menghindari kemauan jahat
10. Menghindari pandangan salah
Ø Sebab-Akibat:
SEBAB:
1. Membunuh ==>
2. Mencuri
3. Berzina
4. Berdusta
5. Memfitnah
6. Menyiksa makhluk lain
7. Berkata kasar
8. Omong kosong
9. Keserakahan
10. Kemauan jahat/Kebencian
11. Kebodohan batin
12. Minuman keras
13. Tidak benci/dendam/marah-marah
14. Mendengarkan Dharma
15. Menghormat yang patut dihormat
16. Tidak berzina (susila)
17. Tidak berdusta
18. Tidak memfitnah
19. Simpati
20. Tidak serakah/ murah hati
21. suka menyiksa
22. Simpati
23. Membuat kebutaan
24. Berbakti
25. Malas belajar
26. ...
AKIBAT:
1. pendek umur; senantiasa berpisak dengan sesuatu yang dicintai; hidup dalam ketakutan; terlahir di neraka
2. Miskin, tidak berhasil memperoleh apa yang diinginkan, menderita kebangkrutan/kerugian dalam berdagang, sering ditipu atau diperdayai, mengalami kahancuran karena bencana/malapetaka
3. Banyak musuh, terlahir sebagai banci, mempunyai kelainan jiwa, diperkosa orang lain, sering mendapat aib/malu, gagal dalam bercinta, sukar mendapat jodoh, tidak berbahagia dalam hidup berumah tangga, terpisahkan dari orang yang dicintai
4. Bicaranya tidak jelas, giginya jelek dan tidak rata/rapi, mulutnya berbau busuk, sorot matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercaya, sering dihina
5. Kehilangan sahabat/teman
6. Mempunyai tubuh yang mudah berpenyakitan
7. Sering difitnah
8. Tidak dipercaya oleh orang lain
9. Tidak dapat mencapai apa yang sangat diharapkan; terlahir di alam setan
10. Memiliki wajah yang buruk; terlahir di alam neraka
11. Terlahir sebagai binatang
12. Menderita gangguan jiwa, kecerdasan menurun/bodoh
13. memiliki wajah yang tampan atau cantik
.
14. Memiliki kebijaksanaan yang tinggi
15. Mempunyai umur yang panjang
16. Terlahir dalam keluarga yang bahagia
17. Dipercaya oleh orang lain
18. Tidak kehilangan sahabat
19. Terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan
20. Memiliki harta yang berlimpah
21. Terlahir dalam keadaan cacat
22. Terlahir dalam keluarga luhur
23. Terlahir dalam keadaan tidak dapat melihat
24. dihargai oleh masyarakat
25. Bodoh
26. ...
Ø Manfaat Mempelajari Hukum Karma:
1. Kesabaran
2. Keyakinan
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Pengendalian diri
5. Kemampuan
6. Manfaat Mempelajari Hukum Karma:
PUNARBHAVA:
Ø Pengertian Punarbhava:
Punabhava (Pali) atau Punarbhava (Sansekerta) berarti kelahiran Kembali/Tumimbal
Lahir. Hukum Punarbhava berarti hukum Kebenaran yang membahas proses kelahiran
kembali/tumimbal lahir
Ø Sebab-sebab kematian:
Kematian dapat terjadi karena salah satu dari 4 hal yaitu:
a. Kammakkhaya atau habisnya kekuatan karma yang mendorong (janaka kamma).
b. Ayukkhaya atau habisnya masa kehidupan makhluk hal ini
c. Ubhayakkhaya atau habisnya kekuatan karma yang mendorong (janaka kamma) dan
batas usia kehidupan
d. Upacchedaka kamma yaitu kematian terjadi karena adanya karma pemotong
Ø Macam Kelahiran:
1. melalui kandungan (Jalabuja yoni):
2. melalui telur (Andaja yoni;
3. melalui kelembaban (Sansedaja yoni);
4. lahir secara spontan (Opapatika yoni).
Ø Alasan Percaya adanya Kelahiran Kembali (Tumimbal Lahir):
· Di Inggris ada seorang gadis berusia lima tahun mampu mengingat siapa “ayah dan
ibunya” sebelum ini
· Di India, seorang gadis (Shanti Devi dari Delhi) secara akurat sanggup menggambarkan
kehidupan sebelumnya (di Muttra, 500 mil dari Delhi) yang berakhir sekitar setahun
sebelum “kelahiran keduanya”, dll
· Selain itu, anak-anak yang luar biasa kepandaiannya yang selalu menimbulkan daya tarik
yang amat besar dalam sejarah manusia, juga dapat dijadikan bukti adanya fakta adanya
hukum Tumimbal Lahir
Ø Apa Yang Dilahirkan Kembali:
batin (nama) dan Jasmani (Rupa)
Ø Kesimpulan Ajaran Karma dan Tumimbal Lahir:
· Masalah penderitaan, yang menjadi tanggung jawab kita sendiri;
· Ketidaksamaan umat manusia;
· Kehadiran para jenius dan bayi ajaib;
· Mengapa kembar identik yang secara fisik sangat mirip tetapi menunjukkan karakteristik,
mental, moral, emosi dan intektual yang sangat berbeda;
· Perbedaan anak-anak dari satu keluarga, walaupun hukum herediatas (keturunan) dapat
menerangkan tentang kesamaan;
· Kemampuan luar biasa dari orang-orang tertentu, yang dimilikinya sejak kelahirannya;
· Perbedaan moral dan intelektual antara orang tua dan anak-anaknya;
· Mengapa bayi secara spontan mengembangkan sifat-sifat seperti serakah, marah dan
irihati;
· Adanya perasaan suka dan tidak suka secara naluriah pada pandangan pertama;
· Bagaimana dalam diri kita ditemukan “tumpukan kotoran kejahatan dan simpanan harta
kebaikan.”;
· Luapan tidak terkendali dari nafsu keinginan pada orang-orang beradab yang berke-
budayaan tinggi dan kemungkinan terjadinya perubahan mendadak dari penjahat menjadi
orang suci;
· Bagaimana orang candala dilahirkan dari orang tua yang saleh dan anak yang saleh dilahir-
kan dalam keluarga orang candela;
· Bahwa dalam satu sisi, keadaan kita sesuai dengan hasil perbuatan kita, kita akan
mendapat hasil pekerjaan kita; tetapi dalam kesempatan lain, kita tidak seluruhnya seperti
apa yang telah kita lakukan dan kita tidak sepenuhnya mendapat apa yang kita kerjakan;
· Sebab-sebab kematian sebelum waktunya dan perubahan keberuntungan yang tidak
diharapkan;
· Di atas semuanya, mereka menjelaskan munculnya yang Maha Mengetahui, Guru Spritual
yang sempurna seperti Sang Buddha, yang memiliki fisik, mental dan sifat khas intektual
yang tidak tertandingi.
VII. HUKUM TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA
Ø Pengertian:
Hukum Tilakkhana berarti hukum Tiga Corak Universal
Ø Hukum Tilakkhana terdiri atas:
1. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak kekal (sabbe sankhara anicca)
2. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak memuaskan dan oleh karena itu
tercengkeram oleh dukkha (sabbe sankhara dukkha).
3. Segala sesuatu adalah tanpa ‘diri’ tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal
(sabbe dhamma anatta)
Ø Ciri-ciri segala sesuatu yang berkondisi:
uppada ==> thiti ==> bhanga
(timbul) (berlangsung) (berakhir/lenyap)
Ø Macam dukkha:
a. Dukkha sebagai derita biasa disebut dukkha-dukkha, misalnya: dilahirkan, sakit, umur
tua, mati, bekerjasama dengan orang yang tidak disukai, dan berkumpul dengan orang
yang tidak disenangi.
b. Dukkha sebagai akibat adanya perubahan-perubahan disebut viparinama-dukkha,
misalnya sekarang kita merasa bahagia dan gembira, tetapi esok harinya kita menderita
dan bersedih.
c. Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi disebut sankhara-dukkha, misalnya
kita ini terdiri atas unsur jasmani dan batin.
Ø Paham yang ditolak Buddha:
1. Attavada : paham bahwa roh (atta) adalah kekal abadi dan akan berlangsung
sepanjang masa
2. Ucchedavada : paham bahwa setelah mati ‘roh’ (atta) itu pun akan turut lenyap
PATICCA SAMUPPADA
Ø Pengertian:
Kata Paticcasamuppada berasal dari kata ‘paticca= ‘menempati/tinggal’, ‘sam = siap’, dan ‘uppada = timbul’. Jadi Paticcasamuppada berarti:
“Keadaan yang menempati dan siap untuk timbul’;
“Timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan”;
“Sebab-akibat yang saling bergantungan.”
Ø Tujuan/makna mempelajari Paticca Samuppada:
a. untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya yang ‘tidak ada sesuatu
yang berkondisi yang timbul tanpa sebab’.
Skema ‘sebab-akibat’ dan contoh-contoh umum sebagai analogi:
Sebab-akibat
Sebab-akibat
Sebab-akibat, dst
b. Masalah ‘sebab pertama’ (causa prima)
- Semua merupakan lingkaran sebab-akibat, jadi tidak diketahui awal dan akhir.
- Alam semesta ini selalu bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan
penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus.
c. Konsep ‘sebab pertama muncul karena kita diliputi ketidaktahuan dan terbelenggu keinginan rendah.
Buddha bersabda dalam Samyutta Nikiaya II, 178-193:
“Tidak dapat dipikirkan akhir tumimbal lahir, tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk, yang karena diliputi ketidaktahuan dan terbelenggu keinginan rendah, mengembara ke sana ke mari”.
Ø Rumusan/Prinsip Hukum Paticca Samuppada:
1. Dengan adanya ini, maka adalah itu;
2. Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu;
3. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu;
4. Dengan tidak timbul ini, maka tidak timbul itu.
Ø Uraian Paticca Samuppada:
1. Dengan adanya kebodohan, maka terjadilah bentuk-bentuk karma;
2. Dengan adanya bentuk bentuk karma ==> kesadaran
3. Dengan adanya kesadaran ==> batin dan jasmani
4. Dengan adanya batin dan jasmani ==> enam indera
5. Dengan adanya enam indera ==> kesan – kesan
6. Dengan adanya kesan – kesan ==> perasaan
7. Dengan adanya perasaan ==> nafsu keinginan
8. Dengan adanya nafsu keinginan ==> kemelekatan
9. Dengan adanya kemelekatan ==> proses tumimbal lahir
10. Dengan adanya proses tumimbal lahir ==> kelahiran kembali
11. Dengan adanya kelahiran kembali ==> kelapukan, kematian, keluh
kesah, sakit,dll.
12. Kelapukan, kematian, dan lain-lain adalah akibat kelahiran kembali.
Sebaliknya dengan terhentinya kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma, dst.
blog ini menyajikan berbagai artikel agama buddha yang ditulis oleh pemilik blog atau hasil copy dari berbagai sumber yang bisa dijadikan materi pembelajaran di sekolah. Blog ini juga menampilkan tugas-tugas yang harus di kerjakan oleh siswa/mahasiswa yang diajar oleh p nurwito.Selamat membaca....
Senin, 11 Februari 2008
Selasa, 05 Februari 2008
PENYEMBAH BERHALA, APAKAH TOLOK UKURNYA?
Ketika saya bertemu dengan dokter pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi. Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala. Kemudian saya berkata: “Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, dari manakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon-mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya.” Maka ia pun menjawab bahwa kebanyakan orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: “Ketika rakyat suatu Negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?” Dokter saya menjawab bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan/kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para para pahlawannya.” Kemudian saya lanjutkan: “Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?” Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: “Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai peyembah patung/berhala, dan jika melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?” Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: “Mengapa tidak?” Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut. Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: “Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu, ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter acap kali meminta atau memohon seuatu (keselamatan, rejeki, dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?” Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi: “Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.”
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung Buddha Gotama. Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala. Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula ) bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh Buddha Gotama, yaitu:
1. murah hati (dermawan)
2. bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, tidak memakan
atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan
3. tidak terikat/tidak melekat
4. bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. bersemangat
6. sabar
7. selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. memiliki tekad yang kuat
9. memiliki cinta kasih terhadap semua makhluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan,
sekte, dsb)
10.sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)
Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Buddha sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui pikiran, ucapan, dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap makhluk mengharapkan kebahagiaan namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta. Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah. Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga, dan secara sukarela pula saya berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman yang terjadi selama ini.
(Sumber: Dhamma Study Group Bogor. 1995. Abhisamaya II)
---oo0oo---
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: “Ketika rakyat suatu Negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?” Dokter saya menjawab bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan/kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para para pahlawannya.” Kemudian saya lanjutkan: “Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?” Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: “Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai peyembah patung/berhala, dan jika melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?” Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: “Mengapa tidak?” Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut. Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: “Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu, ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter acap kali meminta atau memohon seuatu (keselamatan, rejeki, dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?” Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi: “Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.”
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung Buddha Gotama. Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala. Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula ) bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh Buddha Gotama, yaitu:
1. murah hati (dermawan)
2. bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, tidak memakan
atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan
3. tidak terikat/tidak melekat
4. bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. bersemangat
6. sabar
7. selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. memiliki tekad yang kuat
9. memiliki cinta kasih terhadap semua makhluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan,
sekte, dsb)
10.sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)
Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Buddha sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui pikiran, ucapan, dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap makhluk mengharapkan kebahagiaan namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta. Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah. Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga, dan secara sukarela pula saya berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman yang terjadi selama ini.
(Sumber: Dhamma Study Group Bogor. 1995. Abhisamaya II)
---oo0oo---
KONSEP KETUHANAN DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (Sutta Pitaka, Udana VIII:3)
Ungkapan di atas adalah pernyataan Buddha yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha yang sahih dang sangkil. Dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tanpa aku (anatta,), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, Yang tidak berkondisi (Asankhata) maka manusia yang berkondisi (Sankhata) dapat mencapai kebebasan dar lingkaran kehidupan (samsara).
Rumusan di atas (Udana VIII:3) merupakan Realiats Terakhir, Tertinggi, Kebenaran Mutlak, Absolut, Nirwana, yang disebut Asankhata-dhamma, dan diartikan sebagai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-tzu, maka nama apa pun tidak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bias didefinisikan maka ia tidak lagi absolut.
Dengan menyimak konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, maka kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama-agama lain. Perbedaan ini sangat penting diketahui karena masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep ketuhanan agama Buddha dengan konsep dari agama lain, sehingga kemudian mereka menganggap bahwa konsep ketuhanan agama Buddha adalah sama dengan konsep ketuhanan lainnya.
Agama Buddha tidak sependapat bahwa:
Ketuhanan dilahirkan apalagi beranak (karena ketuhanan adalah Ajatam=Yang Tidak Dilahirkan).
Ketuhanan itu mempunyai bentuk apa pun (karena ketuhanan adalah Abhutam= Yang Tidak Dijelmakan).
Ketuhanan itu tercipta (karena ketuhanan adalah Akatam=Yang Tidak Diciptakan)
Ketuhanan dapat digambarkan sebagai ini atau pun itu (karena ketuhanan adalah Asankhatam=Yang Mutlak).
Sesuatu Yang Mutlak tidak dapat digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata. Kata-kata adalah bahasa dan bahasa adalah konvensi atau kesepakatan yang sama sekali tidak mutlak. Jadi kalau agama Buddha tidak menyetujui untuk menggambarkan ketuhanan itu seperti apa, itu bukan berarti agama Buddha tidak mengakui ketuhanan. Tetapi, justeru agama Buddha konsisten dan konsekuen pada pandangannya bahwa Yang Mutlak tidak dapat digambarkan. Agama Buddha dapat dikatakan sebagai salah satu agama yang ‘menempatkan’ Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ‘pengertian’ yang ‘paling tinggi’ karena agama Buddha tidak terlibat dalam pandangan yang merendahkan Yang Mutlak dengan menggambarkan seperti yang dipikir manusia biasa (anthropomorfisasi).
Dalam pandangan agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian cirri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia). Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.
Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk.Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala Sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang berkuasa menentukan tempat setiap makhluk (D. I,18). Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat- maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Ja. V,238). Juga berbagai peristiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme determinis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang Mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidakadilan (Ja. VI,208).
Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Mutlak sebagai Yang Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, kekal tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Maha esa (atau Mahakuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak megenal dualisme. Tuhan yang mempunyai sifat Maha Pengasih misalnya tidak mungkin juga pemarah.
Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (Sutta Pitaka, Udana VIII:3)
Ungkapan di atas adalah pernyataan Buddha yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha yang sahih dang sangkil. Dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tanpa aku (anatta,), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, Yang tidak berkondisi (Asankhata) maka manusia yang berkondisi (Sankhata) dapat mencapai kebebasan dar lingkaran kehidupan (samsara).
Rumusan di atas (Udana VIII:3) merupakan Realiats Terakhir, Tertinggi, Kebenaran Mutlak, Absolut, Nirwana, yang disebut Asankhata-dhamma, dan diartikan sebagai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-tzu, maka nama apa pun tidak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bias didefinisikan maka ia tidak lagi absolut.
Dengan menyimak konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, maka kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama-agama lain. Perbedaan ini sangat penting diketahui karena masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep ketuhanan agama Buddha dengan konsep dari agama lain, sehingga kemudian mereka menganggap bahwa konsep ketuhanan agama Buddha adalah sama dengan konsep ketuhanan lainnya.
Agama Buddha tidak sependapat bahwa:
Ketuhanan dilahirkan apalagi beranak (karena ketuhanan adalah Ajatam=Yang Tidak Dilahirkan).
Ketuhanan itu mempunyai bentuk apa pun (karena ketuhanan adalah Abhutam= Yang Tidak Dijelmakan).
Ketuhanan itu tercipta (karena ketuhanan adalah Akatam=Yang Tidak Diciptakan)
Ketuhanan dapat digambarkan sebagai ini atau pun itu (karena ketuhanan adalah Asankhatam=Yang Mutlak).
Sesuatu Yang Mutlak tidak dapat digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata. Kata-kata adalah bahasa dan bahasa adalah konvensi atau kesepakatan yang sama sekali tidak mutlak. Jadi kalau agama Buddha tidak menyetujui untuk menggambarkan ketuhanan itu seperti apa, itu bukan berarti agama Buddha tidak mengakui ketuhanan. Tetapi, justeru agama Buddha konsisten dan konsekuen pada pandangannya bahwa Yang Mutlak tidak dapat digambarkan. Agama Buddha dapat dikatakan sebagai salah satu agama yang ‘menempatkan’ Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ‘pengertian’ yang ‘paling tinggi’ karena agama Buddha tidak terlibat dalam pandangan yang merendahkan Yang Mutlak dengan menggambarkan seperti yang dipikir manusia biasa (anthropomorfisasi).
Dalam pandangan agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian cirri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia). Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.
Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk.Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala Sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang berkuasa menentukan tempat setiap makhluk (D. I,18). Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat- maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Ja. V,238). Juga berbagai peristiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme determinis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang Mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidakadilan (Ja. VI,208).
Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Mutlak sebagai Yang Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, kekal tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Maha esa (atau Mahakuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak megenal dualisme. Tuhan yang mempunyai sifat Maha Pengasih misalnya tidak mungkin juga pemarah.
Langganan:
Postingan (Atom)