“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (Sutta Pitaka, Udana VIII:3)
Ungkapan di atas adalah pernyataan Buddha yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha yang sahih dang sangkil. Dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tanpa aku (anatta,), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, Yang tidak berkondisi (Asankhata) maka manusia yang berkondisi (Sankhata) dapat mencapai kebebasan dar lingkaran kehidupan (samsara).
Rumusan di atas (Udana VIII:3) merupakan Realiats Terakhir, Tertinggi, Kebenaran Mutlak, Absolut, Nirwana, yang disebut Asankhata-dhamma, dan diartikan sebagai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-tzu, maka nama apa pun tidak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bias didefinisikan maka ia tidak lagi absolut.
Dengan menyimak konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, maka kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama-agama lain. Perbedaan ini sangat penting diketahui karena masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep ketuhanan agama Buddha dengan konsep dari agama lain, sehingga kemudian mereka menganggap bahwa konsep ketuhanan agama Buddha adalah sama dengan konsep ketuhanan lainnya.
Agama Buddha tidak sependapat bahwa:
Ketuhanan dilahirkan apalagi beranak (karena ketuhanan adalah Ajatam=Yang Tidak Dilahirkan).
Ketuhanan itu mempunyai bentuk apa pun (karena ketuhanan adalah Abhutam= Yang Tidak Dijelmakan).
Ketuhanan itu tercipta (karena ketuhanan adalah Akatam=Yang Tidak Diciptakan)
Ketuhanan dapat digambarkan sebagai ini atau pun itu (karena ketuhanan adalah Asankhatam=Yang Mutlak).
Sesuatu Yang Mutlak tidak dapat digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata. Kata-kata adalah bahasa dan bahasa adalah konvensi atau kesepakatan yang sama sekali tidak mutlak. Jadi kalau agama Buddha tidak menyetujui untuk menggambarkan ketuhanan itu seperti apa, itu bukan berarti agama Buddha tidak mengakui ketuhanan. Tetapi, justeru agama Buddha konsisten dan konsekuen pada pandangannya bahwa Yang Mutlak tidak dapat digambarkan. Agama Buddha dapat dikatakan sebagai salah satu agama yang ‘menempatkan’ Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ‘pengertian’ yang ‘paling tinggi’ karena agama Buddha tidak terlibat dalam pandangan yang merendahkan Yang Mutlak dengan menggambarkan seperti yang dipikir manusia biasa (anthropomorfisasi).
Dalam pandangan agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian cirri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia). Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.
Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk.Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala Sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang berkuasa menentukan tempat setiap makhluk (D. I,18). Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat- maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Ja. V,238). Juga berbagai peristiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme determinis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang Mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidakadilan (Ja. VI,208).
Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Mutlak sebagai Yang Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, kekal tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Maha esa (atau Mahakuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak megenal dualisme. Tuhan yang mempunyai sifat Maha Pengasih misalnya tidak mungkin juga pemarah.
blog ini menyajikan berbagai artikel agama buddha yang ditulis oleh pemilik blog atau hasil copy dari berbagai sumber yang bisa dijadikan materi pembelajaran di sekolah. Blog ini juga menampilkan tugas-tugas yang harus di kerjakan oleh siswa/mahasiswa yang diajar oleh p nurwito.Selamat membaca....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar