blog ini menyajikan berbagai artikel agama buddha yang ditulis oleh pemilik blog atau hasil copy dari berbagai sumber yang bisa dijadikan materi pembelajaran di sekolah. Blog ini juga menampilkan tugas-tugas yang harus di kerjakan oleh siswa/mahasiswa yang diajar oleh p nurwito.Selamat membaca....

Senin, 11 Februari 2008

RINGKASAN MATERI I-VII

I. TUHAN YANG MAHAESA DAN KETUHANAN


Ø Konsep Ketuhanan Agama Buddha:
Ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”
(Sutta Pitaka, Udana VIII:3)

Ø Jadi Tuhan dalam pandangan agama Buddha bersifat impersonal:
Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi),
· tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian ciri-ciri yang berasal dari wujud
manusia), dan
· antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia)

Ø Bagaimana jika tidak impersonal?
· Kalau tidak impersonal, berarti masih berkondisi, masih tetap dukkha
· Bisa timbul pandangan bahwa ‘Tuhan dapat disalahkan’, jadi kita tidak dapat
mendudukkan Tuhan pada proporsi yang sebenarnya

Ø Bolehkah konsep tesebut digunakan di Indonesia?
Boleh, karena tidak bertentangan dengan:
· Pancasila dasar Negara yaitu sila Ketuhanan Yang mahaesa
· UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.

Ø Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk

Ø Buddha mengutuk ketakbertuhanan. Hanya dalam satu hal agama Buddha dapat digambarkan sebagai atheis, dalam hal menolak adanya suatu Tuhan mahakuasa yang abadi atau Maha-dewa yang merupakan pencipta dan pengatur dunia dan secara ajaib bisa menyelamatkan orang.

Ø Jika Tuhan kita tidak/bukan maha pencipta, lalu siapa yang maha pencipta?
Yang maha pencipta adalah kondisi-kondisi
· Tidak ada causa prima (sebab pertama), yang ada yaitu sebab terdekat
· Untuk terbentuk/terjadinya sesuatu fenomena ternyata melibatkan banyak sekali kondisi

Ø Apakah yang tidak berkondisi benar-benar ada?
Kita dapat mengetahui hal tersebut dari:
· Kitab suci
· Logika (Anumana: melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat)
· Mengalami langsung (merealisasi)

Ø Sifat-sifat Tuhan:
· Mahaesa karena hanya satu-satunya
· Mahasuci karena terbebas dari lobha, dosa, dan moha

Ø Tahap-tahap munculnya konsep ketuhanan:
Ada hubungan antara pola hidup dan pola pikir ketuhanan
POLA HIDUP POLA PIKIR KETUHANAN
· Berburu binatang Menyembah benda2 yg menentramkan
. Memelihara binatang Menembah binatang
· Bercocok tanam Menyembah dewi/dewa
· Industri kecil Gaib
· Industri besar Diri sendiri adalah Tuhan
· Spiritual maju Anatta


Ø KONSEP KESELAMATAN
· Ortodoks
· Heterodoks
· Independent/tidak tergantung

Ø Konsep keselematan dalam agama Buddha adalah tergantung pada dirinya masing-masing karena pada hakikatnya dalam setiap manusia dpat mencapai kesempurnaan/kesucian

Ø Kesucian dalam agama Buddha:
· Sotapanna
· Sakadagami
· Anagami
· Arahat

Ø Jalan munuju kesucian:
· Dengaan melaksanakan Jalan Tengah (majjhima patipada) yaitu jalan yang menghindari
dua jalan ektrim, pertama menghindari ektrim duniawi atau pemuasan nafsu indera yang
berlebih-lebihan, dan kedua menghindari ekstrim penyiksaan diri yang menyakitkan
· Jalan Tengah disebut juga Jalan Mulia Berunsur Delapan, terdiri atas:

1. Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2. Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3. Ucapan Benar (Samma Vaca)
4. Perbuatan Benar (SammaKkemmanta)
5. Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6. Daya upaya Benar (Samma Vayama)
7. Perhatian Benar (Samma Sati)
8. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)


Ø Pandangan benar yaitu pandangan terhadap segala sesuatu peristiwa menurut hekikat
yang sebenarnya, yaitu penembusan terhadap Empat Kebenaran Mulia yaitu pandangan
tentang duka, asal-mula duka, lenyapnya duka, dan jalan untuk melenyapkan duka
Ø Pikiran benar yaitu pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian, kemauan buruk,
kekejaman dan sejenisnya
Ø Ucapan benar yaitu tidak berbohong, tidak bicara kasar, tidak memfitnah, dan tidak omong
kosong. Ada 4 syarat disebut sebagai ucapan benar yaitu ucapan itu benar, beralasan,
bermanfaat dan tepat pada waktunya
Ø Perbuatan benar yaitu tidak membunuh, mencuri, dan berbuat asusila
Ø Mata Pencaharian/penghidupan benar yaitu penghidupan yang menghindari diri dari
penghidupan yang merugikan makhluk lain, yaitu penipuan, ketidaksetiaan, penujuman,
kecurangan, praktek lintah darat. Terdapat pula perdagangan yang harus dihindari yaitu
berdagang alat senjata, makhluk hidup, minuman keras yang memabukkan atau
menimbulkan ketagihan, dan racun
Ø Daya upaya benar yaitu mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik dalam
batin; memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik yang telah timbul dalam batin;
membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat dalam batin; memelihara dan
mengembangkan unsur-unsur baik dan sehat dalam batin
Ø Perhatian benar yaitu perhatian cermat atau penuh dan waspada waspada terhadap
kegiatan-kegiatan jasmani (kaya), perasaan-perasaan (vedana), pikiran (citta), dan
bentuk-bentuk batin atau semua gejala batin (dhamma)
Ø Konsentrasi benar yaitu pemusatan pikiran baik terhadap objek meditasi sehingga batin
mencapai keadaan yang lebih tinggi dan dalam yang mampu membawa seseorang
mencapai kesucian pikiran (citta visudhi) maupun jhana-jhana



II. FILSAFAT KETUHANAN

Ø Istilah Filsafat:
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philein atau philos berarti “cinta”, dan sophia berarti kebijaksanaan, hikmat atau pengetahuan”

Ø Pengertian:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), filsafat memiliki pengertian:
(1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal, dan hukumnya;
(2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
(3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
(4) falsafah

Ø Hubungan Agama Buddha dan Filsafat:
Agama Buddha dan filsafat tak dapat dipisahkan. Tetapi agama Buddha jauh lebih luas dari filsafat

Ø Jenis Filsafat:
Filsafat Buddhis tergolong realisme, bukan idealisme atau materialisme

Ø Berkenaan dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa tidak dapat dijelaskan dengan bentuk dan perasaan makhluk (bebas dari konsep antropromorfisme dan antropopatisme), maka Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi yang mengatur secara langsung kehidupan di alam semesta ini

Ø Hukum Tertib Kosmis
Dalam agama Buddha alam semesta ini beserta isinya diatur oleh Hukum Universal/Hukum Tertib Kosmis yang disebut Dhamma Niyama:
· Utu Niyama
· Bija Niyama
· Kamma Niyama
· Citta Niyama
· Dhamma Niyama

Ø Dhamma Niyama merupakan hukum abadi yang meliputi alam semesta, yang bersifat kekal-abadi:
“O Para Bikkhu, apakah para Tatagatha (Buddha) muncul di duniaatau tidak, Dharma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi” (Dhamma Niyama Sutta).

Ø Dharma meliputi segala sesuatu yang bersyarat ataupun tidak bersyarat, yang muncul atau tidak muncul, serta yang nyata atau abstraks


Ø Dharma bukanlah ciptaan para Buddha, Buddha hanyalah ‘Penemu Dharma’

Ø Uraian Dhamma Niyama:

1. Utu Niyama
Hukum universal tentang energi yang mengatur:
. Terbentuk dan hancurnya bumi, planet, tata surya, temperatur, cuaca, halilintar, gempa
bumi, angin, ombak, gunung meletus;
. Membantu pertumbuhan (metabolisme) manusia, binatang dan pohon; atau
. Segala sesuatu yang berkaitan dengan energi (fisika dan kimia)

2. Bija Niyama
Hukum universal tentang tumbuh-tumbuhan, misalnya:
. Bagaimana biji, stek, batang, pucuk, daun dapat bertunas, bertumbuh, berkembang dan
berbuah, dan seterusnya.

3. Kamma Niyama
Hukum universal tentang moral atau hukum Karma, yaitu:
. Perbuatan baik menghasilkan akibat yang baik (kebahagiaan)
. Perbuatan buruk menghasilkan akibat yang buruk (penderitaan)

4. Citta Niyama
Hukum universal tentang pikiran atau batin, misalnya:
. Proses kesadaran
. Timbul dan lenyapnya kesadaran
. Kekuatan pikiran dari keberhasilan pelaksanaan Samatha Bhavana hingga mencapai jhana,
. Kesucian batin karena keberhasilan pelaksanaan Vipassana Bhavana

5. Dhamma Niyama
Hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak diatur oleh keempat Niyama tersebut di atas, misalnya:
. Terjadinya keajaiban alam pada waktu Bodhisattva lahir, mencapai penerangan sempurna,
dan lain-lain
. Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam lainnya yang sejenis


Ø Alam Semesta:
· Menurut pandangan agama Buddha, alam semesta ini luas sekali;
· Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung

Ø Kosmologi/Sistem Tata Surya:
Dalam Anguttara Nikaya, Ananda Vagga, bagian Abhihu diceritakan tentang:
· Tata Surya Kecil (Culanika Lokadhatu) = 1.000 tata surya
· Tata Surya Menengah (Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu) =1.000.000 tata surya
· Tata Sura Besar (Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu)= 1.000.000.000 tata surya

Ø Pembentukan dan kehancuran planet-planet:
· Dalam Anguttara Nikaya Sattakanipata Mahavaggo Dutiyo, bagian Suriya, diceritakan
tentang tujuh matahari yang menghancurkan bumi
· Setiap saat, di alam semesta ini terjadi pembentukan dan kehancuran planet-planet
· Jadi, kiamat (dalam arti hancurnya planet) memang diterima dalam agama Buddha

Ø Makhluk Pertama:
Manusia pertama di bumi ini
· Dalam Dighanikaya, Aganna Sutta diceritakan tentang manusia pertama di bumi ini
· Manusia pertama berasal dari alam Abhassara
· Mereka itu muncul dengan tubuh yang bercahaya yang sangat terang
· Mereka banyak sekali, bukan hanya satu atau dua orang saja


Ø Makhluk pertama di alam semesta:
Sangat sulit diceritakan, dalam Samyuttanikaya II, 178-193 dijelaskan:
“Tidak dapat dipikirkan akhir roda tumimbal lahir; tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk-makhluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh keinginan rendah (Tanha) mengembara ke sana ke mari”.

Ø Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada, tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita


Ø Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini manurut Anguttara Nikaya, Sutta Nipata, diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini mucullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh.. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita ini terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.



III. MANUSIA

Ø Kehidupan manusia:
Kehidupan manusia sekarang di bumi ini merupakan kelanjutan kehidupan

Ø Hakikat manusia:
Apa yang disebut manusia adalah lima kelompok/agregat kehidupan (pancakkhanda), yang terdiri atas:
(1) unsur jasmani (rupakkhanda),
(2) perasaan (vedanakkhanda),
(3) pencerapan (sannakkhanda),
(4) bentuk-bentuk pikiran (sankharakkhanda), dan
(5) kesadaran (vinnanakkhanda)


Ø Kelompok jasmani:
Kelompok jasmani tebentuk karena empat unsur utama yaitu:
1. unsur padat/tanah (pathavi-dhatu), berfungsi sebagai penyokong dan memberi sifat keras-
lunak;
2. unsur cair/air (apo-dhatu), berfungsi sebagai pengikat dan memberi sifat kohesi arus;
3. unsur panas/api (tejodhatu), berfungsi sebagai pematurasi dan memberi sifat panas-
dingin;
4. unsur gerak/angina (vayo-dhatu), berfungsi dalam pergerakan dan memberi sifat
ekspansi-kontraksi.

Ø Kelompok perasaan:
Kelompok perasaan adalah kelompok yang meliputi semua perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral yang muncul karena:
1. kesan-kesan penglihatan oleh mata;
2. kesan-kesan pendengaran oleh telinga;
3. kesan-kesan penciuman oleh hidung;
4. kesan-kesan pengecapan oleh badan;
5. kesan-kesan batin.


Ø Kelompok pencerapan:
Kelompok pencerapan adalah kelompok yang meliputi semua pencerapan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral yang terdiri atas:
1. pencerapan bentuk-bentuk oleh mata;
2. pencerapan suara-suara oleh telinga;
3. pencerapan bau-bauan oleh hidng;
4. pencerapan rasa-rasa oleh lidah;
5. pencerapan sentuhan oleh badan;
6. pencerapan objek batin oleh pikiran.

Ø Kelompok pikiran:
Kelompok bentuk pikiran adalah kelompok yang meliputi semua keadaan batin yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral:
1. terhadap bentuk yang dilihat;
2. terhadap suara yang didengar;
3. terhadap bau-bauan yang dicium;
4. terhadap rasa-rasa yang dikecap;
5. terhadap sentuhan-sentuhan yang disentuh;
6. terhadap kesan-kesan objek batin oleh pikiran.

Ø Kelompok kesadaran:
Kelompok kesadaran adalah kelompok yang meliputi semua kesadaran yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral, terbagi dalam enam golongan yaitu:
1. kesadaran mata;
2. kesadaran telinga;
3. kesadaran hidung;
4. kesadaran lidah;
5. kesadaran jasmani;
6. kesadaran batin.


Ø Proses terjadinya kehidupan manusia:
Terjadinya kehidupan manusia yaitu:
· adanya pertemuan unsur laiki-laki dan perempuan,
· dalam kondisi masa subur, dan
· adanya gandhabba yang siap terlahir kembali

Ø Martabat manusia:
Martabat Manusia diuraikan Buddha dalam Sutta Nipata, Vasala Sutta, sebagai berikut:
“Bukan karena kelahiran seseorang disebut sampah masyarakat (vasala).
Bukan karena kelahiran seseorang disebut Brahmana.
Hanya karena perbuatan seseorang disebut vasala.
Hanya karena perbuatan seseorang disebut Brahmana.


V. HUKUM

Ø Pengertian:
Peraturan yang bertujuan untuk mencegah manusia melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai moral

Ø Jenis Hukum:
· hukum negara
· hukum adat,
· hukum kebiasaan dalam kehidupan pergaulan berbangsa dan bernegara, dll
· hukum alam yang bersifat universal

Ø Fungsi hukum:
Hukum melindungi orang-orang yang berkelakuan baik; mengendalikan dan memperbaiki mereka yang berkelakukan buruk, serta mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan secara efektif

Ø Hukum yang baik:
melindungi kebenaran dan keadilan, memiliki dasar moral yang dapat diterima secara universal dan mengandung unsur pendidikan

Ø Fungsi profetik agama dalam hukum:
adalah bahwa agama sebagai sarana menuju kebahagiaan juga memuat peraturan-peraturan yang mengondisikan terbentuknya batin manusia yang baik, yang berkualitas, yaitu manusia yang bermoral

Ø Hukum dalam agama Buddha:
Hukum yang diajarkan Buddha yaitu Hukum Kebenaran Mutlak:
yang mengatasi KETUPAT ( mengatasi keadaan, waktu, tempat, dan tempat)

Ø Macam Hukum Kebenaran yang diajarkan oleh Buddha:
þ Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani)
þ Hukum Perbuatan (Kamma) dan Kelahiran Kembali (Punarbhava)
þ Hukum Tiga Corak Universal (Tilakkhana)
þ Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada)

Ø Empat Kebenaran Mulia:
a. Kebenaran Mulia tentang Dukkha
b. Kebenaran Mulia tentang Sebab dukkha
c. Kebenaran Mulia tentang Terhentinya Dukkha
d. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Terhentinya Dukkha, yaitu:

1). Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2). Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3). Ucapan Benar (SammaVaca)
4). Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5). Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6). Usaha Benar (Samma Vayama)
7). Perhatian Benar (Samma Sati)
8). Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)


VI. HUKUM KARMA DAN PUNARBHAVA

Ø Pengertian:
Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) berarti perbuatan. Hukum Karma berarti hukum yang mengatur perbuatan

Ø Jenis Karma:
Karma baik (Kusala Kamma) dan Karma buruk (Akusala Kamma)

Ø Syarat Karma;
· Syarat karma adalah kehendak atau niat (cetana).
· Berkenaan dengan hal ini Buddha menyatakan di dalam Kitab suci Anguttara Nikaya
III.415 yaitu:
“ O... para Bhikkhu kehendak untuk berbuat (cetana) itulah yang Aku namakan kamma.
Setelah timbul kehendak seseorang berbuat dengan pikiran, ucapan, atau jasmani”

Ø Prinsip Hukum Karma:
Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebajikan. Pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula. Taburkanlah biji–biji benih, dan engkau pulalah yang akan memetik buah–buah daripadanya. (Samyutta Nikaya I:227)
Ø Prinsip Pertama:
Sebab = AkibatSesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya

Ø Prinsip Kedua :
Pembuat kebajikan akan menerima kebajikan dan pembuat kejahatan akan menerima kejahatan pula.
Baik ==> Baik
Jahat ==> Jahat


Ø Prinsip Ketiga :
Taburkanlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan memetik buah-buah daripadanya.
Pembuat = Penerima


Ø Pembagian Karma

1. Menurut jangka waktu dalam memberikan hasil:
a. Karma yang berakibat pada kehidupan sekarang ini (ditthadhamma vedaniya kamma);
b. Karma yang berakibat pada kehidupan yang akan datang (upajjavedaniya kamma );
c. Karma yang berakibat pada kehidupan yang akan datang dan berikutnya (aparapara-
vedaniya kamma)
d. Karma yang tidak memberikan hasil/akibat (ahosi kamma)

2 Menurut sifat kerja / fungsi:
a. Karma penghasil/syarat terlahirnya makhluk-makhluk (janaka kamma)
b. Karma pendorong/pembantu (upattambaka kamma)
c. Karma penekan (upapilaka kamma)
d. Karma pemotong (upaghataka kamma)

3. Menurut sifat hasil / kekuatan yang dihasilkan
a. Karma yang berat akibatnya (garuka kamma )
b. Karma sesaat sebelum ajal/meninggal (Asanna Kamma)
c. Karma kebiasaan dan sebagai watak baru (acina kamma)
d. karma yang ringan yang tidak begitu berat dirasakan akibatnya dari perbuatan lampau
(katatta kamma )




Ø Sumber atau akar kejahatan: Keserakahan (Lobha), Kebencian (Dosa), dan Kebodohan batin (Moha);

Ø Sumber atau akar kebajikan: tidak serakah/belas kasih (Alobha), tidak membenci/ cinta kasih (Adosa), dan Tidak bodoh/bijaksana (Amoha)

Ø Sepuluh Perbuatan jahat:
1. Membunuh
2. Mencuri
3. Berzina
4. Berdusta
5. Memfitnah
6. Berkata kasar
7. Omong kosong
8. Keserakahan
9. Kemauan jahat/Kebencian
10. Pandangan salah

Ø Sepuluh Perbuatan baik:
1. Menghindari membunuh
2. Menghindari mencuri
3. Menghindari berzina
4. Menghindari berdusta
5. Menghindari bicara fitnah
6. Menghindari berkata kasar
7. Menghindari omong kosong
8. Menghindari keserakahan
9. Menghindari kemauan jahat
10. Menghindari pandangan salah

Ø Sebab-Akibat:
SEBAB:
1. Membunuh ==>
2. Mencuri
3. Berzina
4. Berdusta
5. Memfitnah
6. Menyiksa makhluk lain
7. Berkata kasar
8. Omong kosong
9. Keserakahan
10. Kemauan jahat/Kebencian
11. Kebodohan batin
12. Minuman keras
13. Tidak benci/dendam/marah-marah
14. Mendengarkan Dharma
15. Menghormat yang patut dihormat
16. Tidak berzina (susila)
17. Tidak berdusta
18. Tidak memfitnah
19. Simpati
20. Tidak serakah/ murah hati
21. suka menyiksa
22. Simpati
23. Membuat kebutaan
24. Berbakti
25. Malas belajar
26. ...

AKIBAT:
1. pendek umur; senantiasa berpisak dengan sesuatu yang dicintai; hidup dalam ketakutan; terlahir di neraka
2. Miskin, tidak berhasil memperoleh apa yang diinginkan, menderita kebangkrutan/kerugian dalam berdagang, sering ditipu atau diperdayai, mengalami kahancuran karena bencana/malapetaka
3. Banyak musuh, terlahir sebagai banci, mempunyai kelainan jiwa, diperkosa orang lain, sering mendapat aib/malu, gagal dalam bercinta, sukar mendapat jodoh, tidak berbahagia dalam hidup berumah tangga, terpisahkan dari orang yang dicintai
4. Bicaranya tidak jelas, giginya jelek dan tidak rata/rapi, mulutnya berbau busuk, sorot matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercaya, sering dihina
5. Kehilangan sahabat/teman
6. Mempunyai tubuh yang mudah berpenyakitan
7. Sering difitnah
8. Tidak dipercaya oleh orang lain
9. Tidak dapat mencapai apa yang sangat diharapkan; terlahir di alam setan
10. Memiliki wajah yang buruk; terlahir di alam neraka
11. Terlahir sebagai binatang
12. Menderita gangguan jiwa, kecerdasan menurun/bodoh
13. memiliki wajah yang tampan atau cantik
.
14. Memiliki kebijaksanaan yang tinggi

15. Mempunyai umur yang panjang

16. Terlahir dalam keluarga yang bahagia
17. Dipercaya oleh orang lain
18. Tidak kehilangan sahabat
19. Terlahir dalam lingkungan yang menggembirakan

20. Memiliki harta yang berlimpah
21. Terlahir dalam keadaan cacat
22. Terlahir dalam keluarga luhur
23. Terlahir dalam keadaan tidak dapat melihat
24. dihargai oleh masyarakat
25. Bodoh
26. ...


Ø Manfaat Mempelajari Hukum Karma:
1. Kesabaran
2. Keyakinan
3. Kepercayaan pada diri sendiri
4. Pengendalian diri
5. Kemampuan
6. Manfaat Mempelajari Hukum Karma:


PUNARBHAVA:
Ø Pengertian Punarbhava:
Punabhava (Pali) atau Punarbhava (Sansekerta) berarti kelahiran Kembali/Tumimbal
Lahir. Hukum Punarbhava berarti hukum Kebenaran yang membahas proses kelahiran
kembali/tumimbal lahir

Ø Sebab-sebab kematian:
Kematian dapat terjadi karena salah satu dari 4 hal yaitu:
a. Kammakkhaya atau habisnya kekuatan karma yang mendorong (janaka kamma).
b. Ayukkhaya atau habisnya masa kehidupan makhluk hal ini
c. Ubhayakkhaya atau habisnya kekuatan karma yang mendorong (janaka kamma) dan
batas usia kehidupan
d. Upacchedaka kamma yaitu kematian terjadi karena adanya karma pemotong

Ø Macam Kelahiran:
1. melalui kandungan (Jalabuja yoni):
2. melalui telur (Andaja yoni;
3. melalui kelembaban (Sansedaja yoni);
4. lahir secara spontan (Opapatika yoni).

Ø Alasan Percaya adanya Kelahiran Kembali (Tumimbal Lahir):
· Di Inggris ada seorang gadis berusia lima tahun mampu mengingat siapa “ayah dan
ibunya” sebelum ini
· Di India, seorang gadis (Shanti Devi dari Delhi) secara akurat sanggup menggambarkan
kehidupan sebelumnya (di Muttra, 500 mil dari Delhi) yang berakhir sekitar setahun
sebelum “kelahiran keduanya”, dll
· Selain itu, anak-anak yang luar biasa kepandaiannya yang selalu menimbulkan daya tarik
yang amat besar dalam sejarah manusia, juga dapat dijadikan bukti adanya fakta adanya
hukum Tumimbal Lahir

Ø Apa Yang Dilahirkan Kembali:
batin (nama) dan Jasmani (Rupa)

Ø Kesimpulan Ajaran Karma dan Tumimbal Lahir:
· Masalah penderitaan, yang menjadi tanggung jawab kita sendiri;
· Ketidaksamaan umat manusia;
· Kehadiran para jenius dan bayi ajaib;
· Mengapa kembar identik yang secara fisik sangat mirip tetapi menunjukkan karakteristik,
mental, moral, emosi dan intektual yang sangat berbeda;
· Perbedaan anak-anak dari satu keluarga, walaupun hukum herediatas (keturunan) dapat
menerangkan tentang kesamaan;
· Kemampuan luar biasa dari orang-orang tertentu, yang dimilikinya sejak kelahirannya;
· Perbedaan moral dan intelektual antara orang tua dan anak-anaknya;
· Mengapa bayi secara spontan mengembangkan sifat-sifat seperti serakah, marah dan
irihati;
· Adanya perasaan suka dan tidak suka secara naluriah pada pandangan pertama;
· Bagaimana dalam diri kita ditemukan “tumpukan kotoran kejahatan dan simpanan harta
kebaikan.”;
· Luapan tidak terkendali dari nafsu keinginan pada orang-orang beradab yang berke-
budayaan tinggi dan kemungkinan terjadinya perubahan mendadak dari penjahat menjadi
orang suci;
· Bagaimana orang candala dilahirkan dari orang tua yang saleh dan anak yang saleh dilahir-
kan dalam keluarga orang candela;
· Bahwa dalam satu sisi, keadaan kita sesuai dengan hasil perbuatan kita, kita akan
mendapat hasil pekerjaan kita; tetapi dalam kesempatan lain, kita tidak seluruhnya seperti
apa yang telah kita lakukan dan kita tidak sepenuhnya mendapat apa yang kita kerjakan;
· Sebab-sebab kematian sebelum waktunya dan perubahan keberuntungan yang tidak
diharapkan;
· Di atas semuanya, mereka menjelaskan munculnya yang Maha Mengetahui, Guru Spritual
yang sempurna seperti Sang Buddha, yang memiliki fisik, mental dan sifat khas intektual
yang tidak tertandingi.


VII. HUKUM TILAKKHANA DAN PATICCA SAMUPPADA

Ø Pengertian:
Hukum Tilakkhana berarti hukum Tiga Corak Universal

Ø Hukum Tilakkhana terdiri atas:
1. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak kekal (sabbe sankhara anicca)
2. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak memuaskan dan oleh karena itu
tercengkeram oleh dukkha (sabbe sankhara dukkha).
3. Segala sesuatu adalah tanpa ‘diri’ tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal
(sabbe dhamma anatta)

Ø Ciri-ciri segala sesuatu yang berkondisi:
uppada ==> thiti ==> bhanga
(timbul) (berlangsung) (berakhir/lenyap)

Ø Macam dukkha:
a. Dukkha sebagai derita biasa disebut dukkha-dukkha, misalnya: dilahirkan, sakit, umur
tua, mati, bekerjasama dengan orang yang tidak disukai, dan berkumpul dengan orang
yang tidak disenangi.
b. Dukkha sebagai akibat adanya perubahan-perubahan disebut viparinama-dukkha,
misalnya sekarang kita merasa bahagia dan gembira, tetapi esok harinya kita menderita
dan bersedih.
c. Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi disebut sankhara-dukkha, misalnya
kita ini terdiri atas unsur jasmani dan batin.

Ø Paham yang ditolak Buddha:
1. Attavada : paham bahwa roh (atta) adalah kekal abadi dan akan berlangsung
sepanjang masa
2. Ucchedavada : paham bahwa setelah mati ‘roh’ (atta) itu pun akan turut lenyap



PATICCA SAMUPPADA

Ø Pengertian:
Kata Paticcasamuppada berasal dari kata ‘paticca= ‘menempati/tinggal’, ‘sam = siap’, dan ‘uppada = timbul’. Jadi Paticcasamuppada berarti:
“Keadaan yang menempati dan siap untuk timbul’;
“Timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan”;
“Sebab-akibat yang saling bergantungan.”

Ø Tujuan/makna mempelajari Paticca Samuppada:
a. untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya yang ‘tidak ada sesuatu
yang berkondisi yang timbul tanpa sebab’.

Skema ‘sebab-akibat’ dan contoh-contoh umum sebagai analogi:
Sebab-akibat

Sebab-akibat

Sebab-akibat, dst

b. Masalah ‘sebab pertama’ (causa prima)
- Semua merupakan lingkaran sebab-akibat, jadi tidak diketahui awal dan akhir.
- Alam semesta ini selalu bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan
penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus.

c. Konsep ‘sebab pertama muncul karena kita diliputi ketidaktahuan dan terbelenggu keinginan rendah.
Buddha bersabda dalam Samyutta Nikiaya II, 178-193:
“Tidak dapat dipikirkan akhir tumimbal lahir, tidak dapat dipikirkan asal mula makhluk, yang karena diliputi ketidaktahuan dan terbelenggu keinginan rendah, mengembara ke sana ke mari”.

Ø Rumusan/Prinsip Hukum Paticca Samuppada:
1. Dengan adanya ini, maka adalah itu;
2. Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu;
3. Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu;
4. Dengan tidak timbul ini, maka tidak timbul itu.

Ø Uraian Paticca Samuppada:
1. Dengan adanya kebodohan, maka terjadilah bentuk-bentuk karma;
2. Dengan adanya bentuk bentuk karma ==> kesadaran
3. Dengan adanya kesadaran ==> batin dan jasmani
4. Dengan adanya batin dan jasmani ==> enam indera
5. Dengan adanya enam indera ==> kesan – kesan
6. Dengan adanya kesan – kesan ==> perasaan
7. Dengan adanya perasaan ==> nafsu keinginan
8. Dengan adanya nafsu keinginan ==> kemelekatan
9. Dengan adanya kemelekatan ==> proses tumimbal lahir
10. Dengan adanya proses tumimbal lahir ==> kelahiran kembali
11. Dengan adanya kelahiran kembali ==> kelapukan, kematian, keluh
kesah, sakit,dll.
12. Kelapukan, kematian, dan lain-lain adalah akibat kelahiran kembali.

Sebaliknya dengan terhentinya kebodohan, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma, dst.

Selasa, 05 Februari 2008

PENYEMBAH BERHALA, APAKAH TOLOK UKURNYA?

Ketika saya bertemu dengan dokter pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi. Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala. Kemudian saya berkata: “Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, dari manakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon-mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya.” Maka ia pun menjawab bahwa kebanyakan orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: “Ketika rakyat suatu Negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?” Dokter saya menjawab bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan/kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para para pahlawannya.” Kemudian saya lanjutkan: “Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?” Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya: “Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai peyembah patung/berhala, dan jika melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?” Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: “Mengapa tidak?” Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut. Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: “Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu, ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter acap kali meminta atau memohon seuatu (keselamatan, rejeki, dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?” Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi: “Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.”
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung Buddha Gotama. Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala. Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula ) bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh Buddha Gotama, yaitu:
1. murah hati (dermawan)
2. bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, tidak memakan
atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan
3. tidak terikat/tidak melekat
4. bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
5. bersemangat
6. sabar
7. selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
8. memiliki tekad yang kuat
9. memiliki cinta kasih terhadap semua makhluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan,
sekte, dsb)
10.sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)

Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Buddha sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati. Tindakan melalui pikiran, ucapan, dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap makhluk mengharapkan kebahagiaan namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta. Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah. Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga, dan secara sukarela pula saya berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman yang terjadi selama ini.

(Sumber: Dhamma Study Group Bogor. 1995. Abhisamaya II)

---oo0oo---

KONSEP KETUHANAN DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA

“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak.
Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, tidak ada Yang Tidak Menjelma, tidak ada Yang Tidak Diciptakan, tidak ada Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” (Sutta Pitaka, Udana VIII:3)

Ungkapan di atas adalah pernyataan Buddha yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha yang sahih dang sangkil. Dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tanpa aku (anatta,), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, Yang tidak berkondisi (Asankhata) maka manusia yang berkondisi (Sankhata) dapat mencapai kebebasan dar lingkaran kehidupan (samsara).
Rumusan di atas (Udana VIII:3) merupakan Realiats Terakhir, Tertinggi, Kebenaran Mutlak, Absolut, Nirwana, yang disebut Asankhata-dhamma, dan diartikan sebagai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-tzu, maka nama apa pun tidak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bias didefinisikan maka ia tidak lagi absolut.
Dengan menyimak konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, maka kita dapat melihat bahwa konsep ketuhanan dalam agama Buddha adalah sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama-agama lain. Perbedaan ini sangat penting diketahui karena masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep ketuhanan agama Buddha dengan konsep dari agama lain, sehingga kemudian mereka menganggap bahwa konsep ketuhanan agama Buddha adalah sama dengan konsep ketuhanan lainnya.
Agama Buddha tidak sependapat bahwa:
Ketuhanan dilahirkan apalagi beranak (karena ketuhanan adalah Ajatam=Yang Tidak Dilahirkan).
Ketuhanan itu mempunyai bentuk apa pun (karena ketuhanan adalah Abhutam= Yang Tidak Dijelmakan).
Ketuhanan itu tercipta (karena ketuhanan adalah Akatam=Yang Tidak Diciptakan)
Ketuhanan dapat digambarkan sebagai ini atau pun itu (karena ketuhanan adalah Asankhatam=Yang Mutlak).
Sesuatu Yang Mutlak tidak dapat digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata. Kata-kata adalah bahasa dan bahasa adalah konvensi atau kesepakatan yang sama sekali tidak mutlak. Jadi kalau agama Buddha tidak menyetujui untuk menggambarkan ketuhanan itu seperti apa, itu bukan berarti agama Buddha tidak mengakui ketuhanan. Tetapi, justeru agama Buddha konsisten dan konsekuen pada pandangannya bahwa Yang Mutlak tidak dapat digambarkan. Agama Buddha dapat dikatakan sebagai salah satu agama yang ‘menempatkan’ Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ‘pengertian’ yang ‘paling tinggi’ karena agama Buddha tidak terlibat dalam pandangan yang merendahkan Yang Mutlak dengan menggambarkan seperti yang dipikir manusia biasa (anthropomorfisasi).
Dalam pandangan agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian cirri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia). Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.
Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk.Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala Sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang berkuasa menentukan tempat setiap makhluk (D. I,18). Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat- maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung jawab (Ja. V,238). Juga berbagai peristiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme determinis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang Mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidakadilan (Ja. VI,208).
Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Mutlak sebagai Yang Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, kekal tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Maha esa (atau Mahakuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak megenal dualisme. Tuhan yang mempunyai sifat Maha Pengasih misalnya tidak mungkin juga pemarah.

Selasa, 22 Januari 2008

KARMA, KELAHIRAN KEMBALI,DAN ILMU GENETIKA


Tugas untuk siswa Kelas XI SMA

Bacalah artikel berikut ini, kemudian tuliskan kesimpulan hubungan karma, kelahiran kembali dan ilmu genetika. Tugas dikumpulkan keketua kelas.
Oleh :Buddhadasa. P. Kirthisinghe


Kebahagiaan dan penderitaan, yang umum dialami sebagai nasib dari semua makhluk hidup, terutama bagi manusia, itu menurut pandangan Agama Buddha, tidak dianggap sebagai hadiah atau hukuman, yang diberikan oleh seorang Deva kepada roh yang telah melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Umat Buddha mempercayai hukum alam, yang dinamai hukum 'sebab dan akibat', yang umum berlaku pada semua gejala-gejala alam. Umat Buddha tidak percaya kepada seorang Deva yang dianggap maha kuasa, dan oleh karena itu hukum 'sebab dan akibat', yang merupakan hukum alam itu, berlakunya tidak dapat dihambat oleh Deva, bahwa juga tidak dapat dihambat oleh semua Buddha, walaupun semua Buddha itu telah memiliki cinta-kasih yang universal.
Hukum 'sebab dan akibat' itu dalam bahasa Sanskrit, dinamai 'karma' dan didalam bahasa Pali, dinamai 'kamma', yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan didalam Agama Buddha. Didalam kata-katanya Sang Buddha, kita temui ajaran yang bunyinya sebagai berikut: " 'Karma' kita sendirilah, atau perbuatan kita sendirilah, yang baik, dan yang buruk, yang menghadiahi dan menghukum kita". Apakah 'karma' itu?. 'Karma' adalah suatu kekuatan, yang kebajikannya, menimbulkan reaksi yang mengikuti sesuatu aksi; 'karma' adalah energi yang membuat jalan keluar; atau yang menyebabkan kita sekarang ini, hidup di alam ini; dan kehidupan kita yang baru ini adalah merupakan suatu aliran kehidupan yang tak habis-habis energinya, yang mengalir secara berlanjut, tanpa henti-hentinya.
Oleh karena itu, Yang Mulia Piyadassi Thera berkata : "Selama ada kemauan selama itu ada perbuatan. Selama ada perbuatan, selama itu ada suatu realitas kejam, yang timbul sebagai akibat dari suatu 'karma' yang buruk; dan selama ada perbuatan, hadiah serta hukuman, itu bukan merupakan kata-kata yang kosong. Keinginan itu menimbulkan perbuatan; perbuatan menimbulkan hasil; hasil itu mempertunjukkan dirinya sebagai suatu corporealitas baru, yang diisi dengan keinginan yang baru. Energi yang bersifat kenyal (= elastis) itu selalu mengubahnya menjadi kehidupan yang segar, dan kita hidup secara abadi melalui keinginan kita yang kuat untuk hidup. Adapun yang menjadi medium-nya, sarana-nya, yang membuat semua kemungkinan itu ada, adalah 'karma'.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Paul Bahlke, dari Jerman, yang dikemukakan didalam naskahnya yang berjudul 'Essay-Essay Buddhis', kita juga berpendapat bahwa, adalah pengetahuan tentang hukum sebab dan akibat, aksi dan reaksi, yang mendorong seseorang untuk mencegah dirinya untuk tidak berbuat jahat dan untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan yang baik. Seseorang yang mempercayai hukum sebab dan akibat, mengetahui dengan sangat baik, bahwa hanya perbuatan dirinya sendirilah, yang membuat kehidupannya berisi penderitaan, dan sebaliknya, hanya perbuatan dirinya sendiri pula, yang membuat kehidupannya berisi kebahagiaan.
Keadaan seseorang, hari ini, adalah merupakan hasil dari jutaan pengulangan-pengulangan dari fikiran-fikiran dan perbuatan-perbuatannya. Dia bukan makhluk yang sekali tercipta telah berkeadaan seperti sekarang ini; dia berkeadaan selalu menjadi keadaan yang baru, dan senantiasa tetap mengalami perubahan-perubahan, menjadi sesuatu yang baru, berikutnya lagi. Watak-wataknya ditentukan sebelumnya, oleh pemilihan-pemilihannya sendiri. Jenis fikirannya, dan jenis perbuatannya, yang dia pilih, menjadi kebiasaan-kebiasaannya, dan selanjutnya ini menentukan dia untuk menjadi manusia dengan watak-watak yang tertentu.
"Karma itu secara mutlak bersifat tidak mengenal belas kasihan, dan cara bekerjanya tidak pandang bulu. Sama keadaannya seperti sebuah cermin yang telah dibersihkan dengan sangat baik, itu mampu memantulkan pada permukaannya, gambar yang sebaliknya, hingga ke hal yang sekecil-kecilnya, demikian juga "karma" itu dapat memberikan kepada orang yang melakukan perbuatan, akibat yang membalik, yang tepat sama dengan jenis perbuatan yang telah dilakukannya."
Yang tersebut dimuka tadi, sama seperti sabda Sang Buddha, sebagai berikut : "Tidak ada tempat untuk persembunyian di langit, atau di kedalaman dari samudera, pun juga tidak dapat dengan cara masuk ke dalam gua di sebuah gunung, atau juga di mana pun di Bumi ini, jika anda ingin menghindar dari terkena akibat dari buah perbuatan anda."
Cara untuk bebas dari 'karma' tidak dapat diajarkan, itu hanya dapat dihayati; tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan menghayati kebajikan-kebajikan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan didalam kehidupan. Setiap individu haruslah merasa perlu untuk dapat bebas dari ikatan karma. Didalam tangan kita sendirilah letak dari kekuatan pembentuk nasib kita sendiri. Orang-orang lain dapat menolong kita secara tidak langsung, tetapi kebebasan dari penderitaan, itu haruslah kita sendiri yang melakukannya, dan kita sendirilah yang haruslah menempa, dengan landasan diri kita sendiri pula.
Psychologi (= ilmu-jiwa)-nya Buddhis, mengungkapkan bahwa pada diri manusia itu terdapat kemungkinan-kemungkinan yang masih bersifat terpendam, dan potensi-potensi untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan itu harus diperkembangkan dan direalisir, dengan usaha-usaha yang nyata. Manusia adalah merupakan kumpulan dari perbuatan-perbuatan yang baik dan yang jahat. Dia selalu mengalami perubahan, ke arah menjadi baik, atau menjadi jahat. Perubahan ini tidak dapat dihindari, dan tergantung sama sekali kepada perbuatan-perbuatannya sendiri, dan tidak tergantung kepada sesuatu yang lain. Dengan perbuatan-perbuatan kita, kita membentuk watak-watak kita, kepribadian kita, individual kita. Harus hanya melalui perbuatan-perbuatan kita sendiri saja, kita dalam berusaha untuk mengubah kembali diri kita, dan untuk memenangkan atau membebaskan diri kita, dari penderitaan-penderitaan.
Adalah keharusan kita sendiri untuk dapat hidup, adalah keinginan kita sendiri untuk dapat hidup, adalah ketergantungan kita kepada hiduplah, yang membuat permainan aksi dan reaksi, yang tak ada henti-hentinya ini, bergerak terus dengan tidak putus-putusnya. Selama kita gagal untuk melihat sifat yang sebenarnya dari hukum sebab dan akibat, sifat yang sebenarnya dari persebaban moral, selama itu pula masih terdapat keinginan dan ketidak-tahuan didalam diri kita, dan dengan demikian kita akan masih berkeadaan terikat kepada "Roda Kelahiran dan Kematian Secara Berulang-Ulang" itu. Apabila unsur penyebab dari sesuatu, telah dapat kita hancurkan maka secara automatis kemunculan unsur akibatnya, akan berhenti. Penderitaan akan menjadi lenyap, apabila akar-akar yang kecil-kecil dan bermacam-macam, dari penderitaan, telah dapat dilenyapkan. Seseorang, misalnya, yang membakar biji buah mangga, hingga menjadi abu, mengakibatkan berhentinya kekuatan pertumbuhan, dan biji buah mangga itu tidak akan pernah dapat menjadi sebuah pohon buah mangga. Itu sama keadaannya dengan yang terjadi pada sesuatu yang terkena persyaratan-persyaratan (= terkena kondisi-kondisi) dan yang terdiri dari komponen-komponen, apakah itu benda mati, atau makhluk hidup.
Sama seperti bahwa bayangan itu mengikuti bendanya, dan sama seperti bahwa asap itu muncul setelah ada api, demikian jugalah unsur akibat itu baru muncul, setelah ada unsur penyebabnya, dan penderitaan atau kebahagiaan itu muncul, setelah pada diri orang, ada fikiran dan perbuatan, yang bersifat buruk, atau baik. Tidak ada akibat-akibat disekeliling kita, di dunia ini, kecuali ada unsur-unsur penyebabnya, yang mungkin tidak tampak, atau belum terbabar, yang lalu mangejawantah (= manifest); dan bagaimana pun jenis penyebabnya, itu menghasilkan akibat-akibat, yang perbandingannya tepat sama dengan jenis-jenis penyebabnya. Orang-orang menuai hasil panenannya, yang berupa penderitaan, karena di masa yang lampau, yang waktunya dekat, atau jauh (di masa kelahirannya yang lampau), atau dalam kelahirannya yang sekarang ini, mereka pernah menanam benih kejahatan; dan orang-orang menuai hasil panenannya, yang berupa kebahagiaan, karena hal itu merupakan hasil perbuatan mereka di masa yang telah lalu, dalam menanam benih kebaikan-kebaikan.
"Seseorang yang bekerja sangat keras, mengerjakan tugasnya sebagai pelayan, mungkin saja, pada suatu ketika, didalam, kelahirannya yang akan datang, menjadi Pangeran yang baru.
Seorang Raja yang memerintah sebuah Kerajaan, mungkin saja, lalu dalam kehidupannya di dunia, pada kelahirannya yang akan datang, menjadi pengembara yang miskin, dengan pakaian compang-camping, karena dalam kehidupannya yang sekarang ini, Sang Raja telah berbuat sesuatu yang sangat buruk, dan telah melalaikan kewajibannya dalam berbuat kebaikan."
Biarlah seseorang mau bermeditasi terhadap ajaran tentang hukum sebab dan akibat ini, biarlah dia berusaha untuk memahaminya, dan semoga dia rajin menanam benih-benih kebaikan, dan rajin pula melenyapkan bintik-bintik kotor dari sifat-sifat jahatnya, yang terdapat didalam hatinya, yang merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan jahatnya di masa kelahirannya yang lampau, bagaikan petani yang rajin melenyapkan rumput-rumput pengganggu tanaman di kebunnya.
KELAHIRAN KEMBALI
Kelahiran kembali, atau keadaan tetap hidup terus sesudah orang meninggal dunia (dan lalu pada suatu ketika terlahirkan lagi di dunia), diterima sebagai fakta kehidupan, didalam Agama Buddha. Energi atau kekuatan yang terkumpul ini berlanjut terus untuk memanifestasikan diri pada kesadaran di berbagai lapisan alam lainnya. Menurut hukum konservasinya energi dan hukum bahwa zat itu tidak dapat dihancurkan, kita yakini bahwa didalam proses kelahiran kembali, itu tidak ada sesuatu yang hilang. Vitalitas atau kekuatan karma yang lenyap dari tubuh kita, itu lalu (didalam kelahiran kembali) memulai cyclus pengambilan tubuh, yang baru.
Kekuatan karma tersebut adalah aliran kehidupan (= santati = life flux) yang berlanjut terus dalam mencari jalan untuk memanifestasikan dirinya, dari satu alam kehidupan ke alam kehidupan berikutnya, dan energi karma ini didukung oleh kekuatan keinginan (untuk hidup). Ini adalah kekuatan karma yang sifatnya tidak nampak.
'Karma' adalah suatu bentuk energi, yang kita bawa dari kehidupan yang satu (kelahiran yang satu) ke kehidupan (kelahiran) yang berikutnya yang bersifat 'kusala' dan 'akusala', yaitu yang sifatnya baik dan buruk. Apabila kita telah meninggal dunia, materi karma kita, berubah didalam bentuk energi, sampai dicapainya rahim yang bersesuaian, dimana telur (= ovum) dan mani (= sperma) bergabung, untuk memvitalisasikannya. Sang Ayah dan Sang lbu hanya menyediakan materi untuk kehidupan makhluk yang baru. Faktor karma atau kekuatan individual (vinnana, atau kesadaran kelahiran kembali) adalah keadaan yang mengkondisikan, mempersyarati, suatu kehidupan yang baru. Ini tidak menyangkal keterangan dari ilmu pengetahuan (= science) tentang genetika, yang menerangkan bahwa anak itu mewarisi ciri-ciri dari orang tuanya dan sanak keluarganya yang dekat. Seorang anak itu juga dibentuk oleh lingkungan sekitar sosial, tetapi semuanya itu dikondisikan oleh "karma"-nya.
Didalam Agama Buddha, diterangkan bahwa terdapat lima dunia kehidupan, yang berkeadaan berbeda yang satu dengan yang lainnya, dan oleh karena itu, memungkinkan terdapatnya lima jalan untuk kelahiran kembali. Adapun ke-lima alam kehidupan itu adalah : alam kehidupan hewan, alam kehidupan roh (yang dinamai "spirit' atau "ghost"), alam neraka, alam kehidupan manusia, dan alam "sakkaloka" atau surga.
ILMU PENGETAHUAN GENETIKA
Ilmu Genetika adalah studi mengenai physiology tentang reproduksi (menurunkan jenis, mempunyai keturunan) dan ketrampilan mengembang-biakkan tanam-tanaman dan hewan-hewan.
Semua warisan (= heredity) itu ditransmisi-kan (= diliyerkan) dari satu generasi ke generasi berikutnya, melalui cel-cel sex yang sangat kecil, yang dinamai sperm (= mani, pada pria) dan ova (= telur, pada wanita). Kedua cel itu bergabung didalam rahim, untuk membentuk telur yang dibuahi, yang tumbuh menjadi foetus (= janin bayi) dan akhirnya lahirlah seorang bayi.
Ayah dan ibu itu keduanya penting didalam transmisi, atau peliyeran, warisan. Inti-inti dari cel-cel sex itu berisi chromosome-chromosome, dan setiap sperma manusia itu berisi 24 chromosome, separo (= setengah) dari jumlah itu berisi cel-cel yang normal, dan jumlah ini bervariasi pada hewan-hewan lainnya dan pada tanam-tanaman.
Fertilisasi atau pembuahan itu terdiri dari bergabungnya inti sperma dengan inti ovum. Cel telur yang telah dibuahi ini lalu membagi dua, lalu menjadi empat, lalu menjadi delapan, dan akhirnya menjadi bilyunan cel-cel tubuh orang dewasa. Gregor Johann Mendel meng-identifikasi-kan unit-unit warisan sebagai gene-gene. Kita dapati unit-unit kehidupan didalam chromosome-chromosome dan didalam molekul yang wujudnya sangat kecil. Setiap ciri yang tampak pada tanaman-tanaman dan pada hewan-hewan itu mempunyai gene-gene, yang seperti telah dikatakan dimuka, itu dibawa chromosome-chromosome, yang terdapat didalam inti-inti dari semua cel kehidupan. Mendel telah menemukan hukum pewarisan, sebagai berbanding 3 dan 1, pada tanaman-tanaman dan pada hewan-hewan. Beliau juga telah menemukan gene-gene yang dinamai yang bersifat dominant dan yang bersifat recessive. Eksperimen klassik beliau telah menolong memperkuat theori-theorinya Charles Darwin, mengenai : asal dari jenis-jenis (= the origin of species), sekesi alamiah (= the natural selection). Dan tentang "Perjuangan untuk dapat tetap hidup dengan jalan mengadakan penyesuaian-diri, siapa yang kuat akan dapat tetap hidup terus" (= the survival of the fittest in the struggle for existence).
Sekarang telah diketahui bahwa gene-gene itu memisah diri menjadi separo (= setengah) dari jumlah mereka didalam cel-cel sex (sperma dan ovum), dan dinamai haploid-haploid dan menggabung kembali didalam telur yang sudah dibuahi, untuk membentuk suatu complement yang lengkap dari gene-gene, seperti cel-cel orang tuanya (= induknya).
Oleh karena itu anak-anak didalam sesuatu keluarga menjadi tampak serupa. Tetapi dari sudut moral, intelleklual, dan emosional, kemiripan mereka itu dapat sangat dekat, atau sangat jauh. Inilah yang dimaksudkan dengan 'karma' yang dikondisikan, yang dipersyarati. Orang tua yang tinggi intelleknya, dapat menurunkan anak-anak yang bodoh, atau sebaliknya, tergantung dari, 'karma' orang tuanya, dan 'karma' anak-anaknya.
Terdapat studi yang sangat menarik terhadap anak-anak kembar, yaitu studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, dengan studi terhadap anak-anak kembar, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi, yang menghasilkan dua anak kembar. Adalah bersifat alamiah bagi anak kembar, yang dilahirkan dari telur-telur yang dibuahi secara terpisah, yang hasilnya menunjukkan kesamaan warisan (= hereditary) yang berkeadaan berbeda, sebagai saudara-saudara perempuan dan saudara-saudara laki-laki yang biasa. Tetapi itu tidak benar bagi anak kembar dua yang identik, yang dilahirkan dari satu telur yang dibuahi dan lalu menjadi dua anak kembar.
Telah diselidiki oleh team sarjana besar - yaitu : Newman, Freeman, dan Holzinger dari Universitas Chicago yang termasyhur itu -, bahwa setelah anak kembar dua dari satu telur itu tumbuh menjadi besar, mulai tampak terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka itu. Yang satu mungkin berat tubuhnya sedikit lebih dari yang satunya; yang satu mungkin lebih cepat pandai didalam belajar, dari pada yang satunya; yang satu bersifat mudah marah atau mudah tersinggung dari pada yang satunya. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa ada perbedaan, memisahkan diri, tidak lagi tetap berkeadaan sama, sebagai yang sama-sama berasal dari genetica dari anak kembar yang identik, itu adalah karena itu dikondisikan, dipersyarati, oleh 'karma', - hal ini merupakan suatu faktor yang tak dapat dihindarkan.
REFERENSI.
- Baptist, Egerton C.
The Supreme Science of the Buddha, Ceylon, 1954
- Carter, C.O
Human Heredity, Pelican, 1969.
- Dahlke, Paul
Buddhist Essays, Ceylon, 1961.
- Dunn & Dolzhansky
Heredity, Race and Society, Mentor Book, 1960

HUBUNGAN ANTARA AGAMA BUDDHA DANILMU PENGETAHUAN MODERN

0leh :Robert F. Spencer
Tidak akan ada yang mempermasalahkannya, kiranya, kecuali oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu merupakan suatu sistem, yang mempunyai pandangan yang objektif dan mandiri, mengenai sifat dan tujuan kehidupan manusia. Sifat objektivitasnya yang menonjol dari Agama Buddha, itu menyebabkan sistem Agama Buddha itu memisah dari Alam Agama, dan sekaligus mengakibatkan Agama Buddha lalu menggabung dengan jenis penyelidikan ilmiah yang berusaha untuk mencari Kenyataan (=Truth), yang mencirikan India pada zaman Gupta, dan periode-periode awal lainnya dari peradaban India, yang memungkinkan sekarang ini, sebagian besar para cendekiawan dari dunia intellektual, -baik di Dunia Timur, maupun di Dunia Barat-, terdorong untuk sibuk memperkembangkan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai Kenyataan-Kenyataan tersebut. Penulis dapat memahami pendapat seseorang (walaupun pendapat itu tidak benar), yang mengatakan bahwa Agama Buddha itu memiliki sifat-sifat tersendiri, yang agak berbeda sifatnya dengan sifat-sifat yang terdapat pada Agama-Agama lain; Agama Buddha itu merupakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menghayati dan mencapai tujuan didalam hidup dan kehidupan di dunia, yang dilingkungi oleh kesukaran-kesukaran dan yang penuh berisi penderitaan-penderitaan itu. Saya juga dapat memahami pendapat seseorang (walaupun, sekali lagi, pendapatnya itu tidak benar), yang mengatakan bahwa Agama Buddha itu sepintas nampak seperti bukan Agama-Agama lainnya; saya katakan bahwa saya dapat memahami pendapat yang demikian itu, karena pendapat tersebut merupakan kesimpulan dari penilaian yang mendefinisikan Agama sebagai suatu pengalaman mystic, dan para penganut Aliran dari Agama Buddha tertentu, ada yang cenderung kurang tertarik perhatiannya kepada hal-hal yang bersifat mystic, yang katanya dapat menimbulkan gejolak perasaan tertentu, yang dinilai kurang positif. Alasan yang mengeritik Agama Buddha sifatnya agak berbeda dengan Agama-Agama lain, ialah karena Agama Buddha itu kurang begitu menggaris-bawahi kepercayaan mengenai sesuatu, apabila yang dipercayai itu, merupakan sesuatu yang benar-benar sukar diketahui, atau bahkan bersifat tidak dapat diketahui oleh akal manusia, serta menolak dogmatisme. Yang saya sebutkan terakhir tadi, memang merupakan sesuatu yang mendorong lajunya perkembangan umat Buddha sendiri di Negara-Negara Buddhis, namun kiranya tidak ada penyelidik Agama Buddha yang menganggapnya sebagai pertumbuhan yang berlebihan, yang sia-sia, dan menyimpang dari konsepsi Dharma, yang bersifat ilmiah, dari Pendirinya. Artikel ini memegang teguh pendapat bahwa Agama Buddha sebagai suatu sistem, itu dapat dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan, karena memiki kesamaan-kesamaan yang besar.
Tetapi, juga terdapat perbedaan-perbedaan antara sistem Agama Buddha dan sistem Ilmu Pengetahuan : Sang Pemikir Buddhis itu memiliki kejernihan cara berfikir, sejernih tujuan-tujuannya: apabila Sang Pemikir Buddhis itu mempergunakan ilmu pengetahuan dan methode-methodenya, dia dalam mempergunakan sistem ilmu pengetahuan itu sadar bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. Dengan kata lain, umat Buddha melihat didalam ilmu pengetahuan itu, refleksi, atau pencerminan, mengenai prinsip-prinsip yang pernah diungkapkan oleh Sang Buddha, dan bahwa prinsip-prinsip yang terdapat didalam ilmu pengetahuan itu hanyalah merupakan ungkapan ulang saja, dari ungkapan-ungkapan yang pernah dikemukakan oleh Sang Buddha, yang pada zamannya Sang Buddha, hal-hal seperti yang terdapat didalam methodologi ilmiah, itu tidak pernah dianggap mutlak, seperti anggapan banyak ilmuwan sekarang. Sejak zaman sekarang ini, dunia tidak terpisah dari methode-methode ilmu pengetahuan; dalam hal ini, kita hanya akan mengemukakan catatan kita, yaitu betapa sangat bersesuaiannya ilmu pengetahuan itu dengan sistem Agama Buddha, yang telah didirikan oleh Sang Buddha, dua ribu lima ratus tahun yang lampau, di India. Pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan modern hanyalah merupakan pemberi tambahan perspektif terhadap konsep-konsep yang telah ada di zamannya Sang Buddha, yaitu misalnya konsep tidak tetapnya dari segala sesuatu, mengenai kwalitas yang bersifat illusi atau khayalan, dan mengenai konsep anatman, dan sebagainya, yang telah dikemukakan lama sebelum abad yang sekarang ini. Sebagai tujuan itu sendiri, memang ilmu pengetahuan itu berkemungkinan mampu memecahkan problema-problema yang nyata-nyata dihadapi, misalnya mampu memberikan makan bagi semua penduduk bumi yang makin lama makin bertambah banyak, mampu membuat makin panjangnya umur manusia, tetapi juga makin mampu memberikan sarana-sarana yang effektif untuk menghancurkan kehidupan. Jika kita tinjau, sekarang ini, ilmu pengetahuan itu tidaklah lebih dari suatu methode yang membuat orang-orang mengkultuskannya, yang menjadi sumber jawaban untuk mengatasi problema-problema; sedang pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya hakiki, misalnya mengenai tujuan manusia, mendapat tempat yang bukan yang paling utama. Nampak terdapat kecenderungan di kalangan para ilmuwan, yang menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai dogma, dengan maksud untuk menyisihkan perasaan-perasaan atau sikap-sikap keagamaan, agar tidak mencampuri kegiatan-kegiatan penyelidikan ilmiahnya. Yang demikian itu terjadi pada beberapa bentuk sekte Hinduisme kuno; mereka mencoba mencari keterangan mengenai Alam Semesta, dengan mempergunakan theori atom, sebagai sarananya, betapa pun cukup tepat konsepsi-konsepsinya; juga dapat kita temui keterangan bahwa para Brahmana di India, di masa-masa yang lampau, itu telah mencoba menghentikan, atau melenyapkan kematian, untuk mencapai keselamatan manusia, yang mungkin dapat kita katakan : mereka itu mencoba berkecimpung didalam aktivitas yang sifatnya ilmiah. Sekalipun demikian, pada masa yang sekarang ini pun, keadaannya tidak berbeda, didalam kenyataannya, tujuan-tujuan ilmiahnya dari para ilmuwan, di dunia sekarang ini, walaupun terwarnai pula oleh sifat spiritual, tetapi lebih banyak terwarnai sifat materialisticnya.
Methode ilmu pengetahuan itu, terutama berisi perumusan suatu hypothesa: pengetesan hypothesa tersebut, dan pernyataan, atau penyampaian hypothesa baru, atas dasar pengetahuan yang dicapai dengan eksperimen-eksperimen yang telah dilaksanakan. Sang Buddha telah mengadakan eksperimen-eksperimen dengan idea-idea, tidak dengan benda-benda, -beliau telah mempergunakan kehidupan manusia yang penuh tempaan-tempaan kehidupan ini, untuk mengukur pengalaman-pengalaman manusia, untuk ditarik kesimpulannya, sebagai jawaban yang dapat memecahkan persoalan, atau melenyapkan penderitaan-penderitaan manusia, setelah masalah-masalahnya dikaji dengan penganalisaan yang paralel dengan cara kerja para ilmuwan.
Ilmu pengetahuan itu dicirikan oleh sifatnya yang "teguh pendirian", apabila sesuatu itu telah dikaji secara ilmiah dan tuntas, serta telah dinyatakan bahwa itu benar, sukar menarik kembali pernyataannya. Penyelidikan terhadap kenyataan (= atau Kasunyataan = Truth) itu tidak selalu mudah dilaksanakan, juga tidak selalu bersifat menyenangkan. Dikatakan juga bahwa Kenyataan itu dapat bersifat menyakitkan hati. Walaupun demikian, tetapi tetap bersifat benar, tetap merupakan kenyataan di mata siapa pun. Dapatkah kami tambahkan bahwa Buddhisme yang aseli, itu menawarkan suatu usaha, sesuatu usaha yang membuahkan hasil yang baik, yaitu agar setelah menemukannya, mau mempertahankannya dan melihatnya secara objektif. Bagi kita semua, yang hidup di dunia ini, yang semuanya memang mencari kesempatan untuk menghayati saat-saat dapat bebas, walaupun sementara saja, dari terkena hukuman, untuk bebas dari terkena kecemasan-kecemasan; pendek kata, untuk mencapai apa yang kita namai kebahagiaan, yang oleh Sang Buddha mengenai masalah kebahagiaan itu, bersabda sebagai berikut : "Baiklah, anda ingin mencapai kebahagiaan, tetapi ingatlah bahwa penghayatan kebahagiaan itu tidak berlangsung secara abadi; hari ini anda dapat merasa berbahagia, tetapi itu sifatnya tidak tetap!". Sama seperti bahwa ilmu pengetahuan itu berusaha untuk mendefinisikan jawabannya secara objektif, tanpa terwarnai oleh emosi, demikian juga Agama Buddha itu membidik sasarannya dengan setepat-tepatnya, bebas dari stress emosional, - tekanan perasaan -, dan memberikan informasi kepada kita secara ringkas sifat yang sebenarnya dari sesuatu itu. Dapat saja kita tidak bersikap yang demikian itu, dan mungkin kita bersikap "teguh pendirian" dan akan melaksanakannya tidak hanya dalam kata-kata saja; tetapi sampai sejauh mana kata-katanya itu, menjadi perbuatan yang nyata, masih harus dibuktikan.
Suatu contoh mengenai ciri "keras-kepala-nya" ilmu pengetahuan, yang juga segaris dengan yang diperkembangkan oleh umat Buddha, nampak didalam konsep karma. Bukankah hukum karma itu merupakan konsep dari Agama Buddha, yang sifatnva sederhana, namun lebih bersifat ilmiah!?!. Apabila orang memilih istilah lain, yang lebih nampak sebagai suatu kepercayaan, adalah prinsip samsara. Apabila kita tinjau secara objektif mengenai kehidupan-kehidupan di masa-masa kelahiran sebelum yang sekarang ini, baik kita tinjau sebagai berada didalam bidang waktu dan ruang, masalah samsara (atau reinkarnasi, atau tumimbal lahir), itu masih merupakan hal yang memerlukan keterangan-keterangan sejelas-jelasnya (walaupun itu adalah merupakan suatu kenyataan, dan tidak perlu diragukan akan kebenarannya!). Yang merupakan pembicaraan yang penuh arti, adalah bahwa "Diri saya" yang sekarang ini, tidaklah sama dengan "Diri saya" kemarin, tidak sama dengan keadaan satu tahun yang lampau, atau bahkan tidak sama dengan beberapa saat yang lalu. Walaupun tidak nampak dengan mata, namun "Ego" kita (= "Diri" kita), itu telah mengalami perubahan, wujud badan jasmani kita, itu dari satu saat ke saat berikutnya, keadaannya tidak sama. Pula, bahwa "Penghayatan Ke-Aku-an" dari individu, yang memiliki kemauan dan kebebasan ber-kehendak, itu dapat berbuat sesuatu, dan memang selalu berbuat sesuatu. Sesuatu perbuatan itu di-pra-kondisi-kan oleh perbuatan- perbuatan yang mendahuluinya. Perbuatan yang dilakukan sekarang ini, mempunyai effek-effek, atau akibat-akibat, untuk besok paginya, memiliki akibat-akibat di masa yang akan datang, di bidang perbuatan dan fikiran. Penulis artikel ini, berpendapat bahwa itulah yang dinamai prinsip-prinsip karma dengan applikasinya. Itu sifat ilmiah, disitu tidak ada sesuatu yang kita namai esoteric, - keajaiban-keajaiban yang bersifat batiniah.
Sudah sangat banyak dikemukakan orang mengenai hubungan antara Agama Buddha dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, namun kiranya disini perlu juga saya sajikan uraiannya, asal tidak sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya. Sifat dari zat, sifat dari realitas physik, problema-problema mengenai ruang dan waktu, semuanya telah terdapat secara implicit didalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Penulis artikel ini harus mengakui bahwa Sang Buddha itu tidak acuh tak acuh terhadap hubungan-hubungan yang bersifat mystic yang demikian itu, sama seperti bahwa beliau juga tidak acuh tak acuh terhadap hubungan antara jiwa (= mind) dan zat (= matter). Perhatian Sang Buddha terutama terletak didalam hubungan antara Agama Buddha dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang merupakan bidang yang sangat luas, untuk memahami hubungan antara manusia dengan manusia, dan tidak antara atom dengan alam semesta yang tidak dihuni oleh makhluk.
Didalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, sebagai misalnya anthropology dan sociology, usaha yang dilakukan orang, adalah memahami bagaimana orang-orang itu bertingkah-laku didalam kelompok, dan mengapa mereka itu bertingkah-laku yang demikian itu. Suatu aspek hubungan (yang sama), kita lihat juga pada ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Masih dapat kita teruskan uraiannya, dengan menambahkan lagi dengan suatu disiplin ilmu pengetahuan, yang meng-evaluasi individu, yaitu psychology, atau ilmu jiwa. Didalam semua lapangan yang disebutkan dimuka tadi, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa terdapat sesuatu yang maha penting, ialah : bahwa manusia itu bertingkah-laku, karena telah mengalami keadaan dipersyarati, - yang oleh ahli anthropology dikatakan karena terkena pengaruh warisan-warisan kebudayaan. Kita dapat memahami pendapat orang-orang, yaitu bahwa kita dapat menganggapnya sesuatu tingkah-laku itu benar dan baik, sedang orang-orang lain (yang lain kebudayaannya dengan kebudayaan kita) mungkin menganggap itu sama sekali salah dan tidak baik. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial itu mengajar kepada kita mengenai sifat relativisme-nya dari tingkah-laku manusia.
Seandainya kita dapat menerima pendapat bahwa tingkah-laku manusia itu bersifat relative, maka sebagai akibat selanjutnya, adalah bahwa tidak ada konsep-konsep mengenai kebaikan atau kejahatan, yang mutlak. Memanglah, bahwa kebaikan dan kejahatan, itu sifatnya sangat relative. Sebagai seorang yang telah terlatih di bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang telah memperoleh informasi-informasi mengenai cara kehidupan bangsa-bangsa di Dunia, yang berbeda-beda itu, penulis artikel ini dapat menerima pendapat yang demikian itu (bahwa tingkah-laku manusia itu bersifat relative). Namun, hanya didalam ajaran Agama Buddha sajalah, yang beberapa dari konsep-konsep yang kacau, itu telah disusun kembali menjadi berkeadaan teratur. Coba, silahkanlah memperhatikan kenyataan bahwa Sang Buddha itu tidak pernah bersabda : "Janganlah anda.....". Sang Buddha mengatakan bahwa adalah merupakan suatu idea yang bagus untuk menghindari jenis-jenis tingkah-laku tertentu, dan beliau juga memberikan sejumlah ajaran-ajaran, yang seluruhnya bersifat positif, terhadap para pengikut beliau. Agama Buddha itu ajaran-ajarannya dapat diterapkan bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang, kepercayaan, sistem ekonomi atau sistem politik, yang dianut seseorang. Yang diajarkan Sang Buddha tidaklah lain adalah kegiatan untuk mengembalikan lagi keseimbangan pada diri orang-orang. Bahkan lebih dari itu, Sang Buddha selalu mengharapkan agar pada diri orang-orang senantiasa berkeadaan seimbang kepribadiannya, sesuai dengan sudut pandangan Agama Buddha. Untuk menyadari konsep, atau ajaran anicca, jelas tidak perlu kita permasalahkan, itu adalah merupakan ajaran yang sangat berguna bagi semua orang.
Tetapi umat Buddha itu dapat menolong dirinya sendiri, dalam hal pencapaian tujuan-tujuannya, dengan menyadari dan mengikuti objektivitasnya para sarjana ilmu pengetahuan sosial. Dalam hal ini, yang saya maksudkan adalah bahwa para sarjana ilmu pengetahuan sosial itu dapat menarik-diri, tidak mau tenggelam dalam masalah-masalah yang dihadapi sesama manusia yang sedang mengalami permasalahan itu. Namun kadang-kadang para sarjana ilmu pengetahuan sosial itu ada yang tidak berusaha untuk membuat agar kehidupan sesama manusia berkeadaan lebih baik. Namun lain yang dilakukan oleh Sang Buddha. Umat Buddha, itu walaupun melakukan yang sama dengan yang dilakukan oleh para sarjana ilmu pengetahuan sosial, yaitu tidak mau tenggelam pada permasalahan yang dialami manusia yang sedang menghadapi sesuatu masalah, tetapi sambil bersikap tidak mau tenggelam pada permasalahannya, Sang Buddha berusaha mencapai pemecahan, secara tidak langsung, didalam mengatasi problem-problema penderitaan yang dialami oleh manusia. Sang Buddha berpendapat dan menyadari kenyataan bahwa orang yang dapat menolong dirinya sendiri, itu berarti tidak boleh tidak, dia dapat menolong orang lain juga. Sang Buddha itu menaruh perhatian sepenuhnya terhadap problema-problema kemasyarakatan dan kepribadian. Ahli Ilmu Pengetahuan Jiwa Psychoanalisa itu dapatlah didalam beberapa hal diperbandingkan dengan orang yang telah dapat mencapai Penerangan Sempurna (= Kesadaran Nirvana), tetapi orang yang telah memperoleh Penerangan Sempurna (= Enlightenment) itu tidaklah perlu harus diajar bagaimana cara bergaul dengan sesama manusia. Sifat dari Kesadaran Nirvana itu, tidak dapat tidak, juga mendatangkan sikap yang dimiliki oleh ilmuwan. Umat Buddha dapat menerima ketidak-terikatan yang sifatnya kontemplatif dari para ilmuwan. Didalam mengerjakan hal yang demikian itu, dia dapat menjadikan dirinya menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan dapat mengikuti atau mempraktekkan lebih dekat dan lebih luas lagi, mengenai ajaran-ajaran pokok dari Agama Buddha. Objektivitas, atau sikap menghadapi masalah-masalah secara objektif, didalam menangani masalah-masalah manusia, tetap merupakan sikap mental yang penting hingga dewasa ini

Sabtu, 19 Januari 2008

Masa Meninggalkan Istana


Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk me-laksanakan cita-citanya.
Selanjutnya Raja Suddhodana menyiapkan sebuah pesta yang besar dan meriah untuk pangeran dalam rangka untuk merayakan kelahiran cucunya. Ia mengundang penari dan penyanyi yang terbaik dari seluruh kerajaannya untuk pesta itu. Raja mengerjakan semua ini karena tahu bahwa Pangeran tidak bergembira meskipun baru saja mempunyai anak dan rajapun tahu bahwa pangeran akan meninggalkan istana untuk mencari sesuatu yang baik.
Selama pesta makanan-makanan yang paling lezat disediakan. Gadis-gadis menari di depan Pangeran, semuanya cantik dan menarik. Pangeran mengunjungi pesta itu hanya untuk menggembirakan ayahnya. Pada kenyataanya ia merasa lelah dan selalu berpikir bagaimana ia dapat menghentikan usia tua, sakit, ketidakbahagiaan dan kematian. Pangeran begitu letih karena terus memikirkan sehingga segera tertidur.
Ketika para penyanyi dan penari melihat bahwa mereka menyanyi dan menari untuk Pangeran yang sudah tidur, mereka juga berhenti dan beristirahat sebentar menunggu sampai Pangeran bangun kembali. Seperti halnya Pangeran, mereka juga sangat lelah dan segera tertidur. Beberapa waktu kemudian setelah larut malam Pangeran bangun dan terkejut melihat orang-orang itu. Apa semua ini. Semua penari dan penyanyi yang paling cantik dan menarik di seluruh kerajaan yang beberapa jam yang lalu mencoba menggembirakan pangeran, sekarang di atas ruangan itu, di kursi-kursi, di permadani dan di tempat tidur dalam keadaan sangat jelek, menjijikkan dan memualkan. Beberapa gadis mendengkur seperti babi dengan mulutnya yang terbuka lebar-lebar, beberapa lagi berkertak gigi dan mengunyah seperti setan-setan kelaparan. Begitu jelek dan kotor mereka, membuat Pangeran lebih jijik lagi dan sedih. Pangeran berdiri perlahan-lahan dari ruang itu tanpa ingin membangunkan orang-orang dan memanggil pelanyannya yang setia Channa untuk memasang pelana pada kuda putih kesayangannya Kanthaka untuk menempuh perjalanan yang jauh.
Sewaktu Channa menyiapkan kudanya, Pangeran dengan perlahan melihat anaknya yang baru lahir. Isterinya sedang tidur dengan bayi di sampingnya dan tangannya menutupi wajah bayi itu. Pangeran tidak dapat melihat wajah anaknya dan ia tahu jika ia menggeser tangan isterinya untuk melihat anaknya, mungkin dapat membangunkan isterinya dan ia pasti melarang untuk meninggalkan istana. Pangeran berkata dalam hati: “Jika aku mencoba melihat wajah anakku dengan menggeser tangannya, aku takut, aku akan membangunkannya. Tidak! Saya harus pergi tanpa melihat wajah anakku, tetapi jika aku telah menemukan apa yang akan kucari, aku akan kembali dan melihat ia dan ibunya lagi.”
Kemudian dengan perlahan Pangeran meninggalkan istana pada tengah malam naik kuda kesanyangnya dengan Channa, pembantunya yang setia sebagai saisnya/kusirnya. Waktu tiba di pintu gerbang tidak seorang pun yang mencegah dan Pangeran pergi meninggalkan dari semua yang mengenal, menghormati dan mencintainya. Pangeran yang saat itu berusia 29 tahun, memandang Kapilavatthu yang terakhir kalinya-yang sunyi sepi di bulan Asalha purnama sidhi. Pangeran pergi untuk menemukan jalan untuk mencegah datangnya usia tua, penyakit, dan kematian.

DELAPAN ANUGERAH

Pada saat anak Pangeran Sidharta lahir dan akan diadakan pesta untuk memeriahkan kelahiran Pangeran kecil, Beliau kelihatan murung dan tidak gembira. Hal ini terjadi karena Pangeran memiliki suatu keinginan yaitu ingin meninggalkan istana untuk mencari obat guna mengatasi makhluk agar terbebas dari kelahiran, usia tua, sakit dan mati. Maka untuk mewujudkan keinginan itu Pangeran meminta ijin kepada Ayahanda dengan hati-hati. Tetapi setelah mendengar permintaan anaknya, Raja Sudhodana marah karena Pangeranlah satu-satunya menjadi pewaris kerajaan.
Karena tidak diizinkan maka Pangeran meminta agar Raja memberikan 8 macam anugerah. Delapan anugerah itu adalah:

Anugerah supaya...
1. tidak menjadi tua
2. tidak sakit
3. tidak mati
4. ayah tetap bersamaku
5. semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup
6. kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7. mereka yang pernah hadir dalam pesta kelahir-anku dapat memadam-kan semua nafsu ke-inginannya
8. aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, dan mati



Mendengar anaknya memberi pernyataan demikian maka Raja Suddhodana merasa sangat kecewa dan beliau mengatakan bahwa hal-hal yang diminta Pangeran adalah hal yang di luar kemampuannya. Raja mencoba membujuk dan berkata bahwa beliau sudah lanjut usia agar Pangeran menunda kepergiannya sampai Raja mangkat
Akhirnya Pangeran berkata agar Raja merelakan kepergiannya saat beliau masih hidup. Setelah Pangeran berhasil menemukan obat maka akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan kepada ayahnya.

Selamat ya, Kamu telah selesai mempelajari kegiatan belajar 1 ini. Semoga Kamu dapat memahaminya dengan baik. Namun jangan lupa, untuk menguji kemampuan Kamu dalam memahami materi pada kegiatan belajar 1 ini, kerjakan dahulu tugas-tugas yang ada pada akhir kegiatan sebelum Kamu melanjutkan untuk mempelajari materi pada kegiatan belajar berikutnya. Usahakan tidak melihat kunci jawaban, sebelum Kamu mengerjakan tugas.